Delapan Belas

708 67 21
                                    

Justin's

Aku keluar ruangan rafi dan mendapati gea yang masih terdiam, "Pulang yuk." ucapku perlahan sembari duduk di sebelahnya.

"Aku akan menunggu rafi." Gea langsung beranjak menuju ruangan rafi, dengan cepat aku menahan tangannya, "Kubilang aku menunggu rafi."

"Rafi menyuruhku untuk pulang bersamamu." gea terdiam dan menatapku tajam, "Pulang ke rumah rafi, bersamaku." gea masih terdiam, "Izinkan aku untuk menemanimu."

"Aku tak mau."

"Rafi tak mau diganggu, dia ingin istirahat sendiri. Aku tak mungkin meninggalkanmu sendirian."

"Baiklah aku akan pulang ke rumah rafi, tapi kumohon tanpamu."

"Kau ingin membuat rafi kecewa?" tanyaku sedikit mengancam. Berusaha sebuah kesempatan akan berpihak kepadaku.

"Kau menang." balasnya cepat. Aku tersenyum tipis, kami segera pulang ke rumah rafi menggunakan taksi.

--

Sedari tadi gea tak keluar dari kamar tidurnya, kusimpulkan dia memang masih benci denganku. Entah apa yang harus kulakukan, perbuatan bodohku memang sangat fatal. Aku membuka pintu gea dan gagal, terkunci. Aku mengetuknya, "Izinkan aku masuk."

"Aku mengantuk." ucapnya sedikit berteriak.

"Biarkan aku masuk. Aku ini kekasihmu gea. Jangan seperti anak kecil."

"Aku tak peduli."

"Aku ingin menjelaskan semuanya."

"Aku ingin melupakan itu semua. Tolong jangan menbuatku untuk mengingatnya."

"Kumohon."

Tak ada jawaban. Dia tak salah jika marah, dia memang seharusnya marah. Tapi apa ada kesempatan sekali saja, untuk memilikinya kembali?

Gea's

Entah apa yang aku rasakan. Benci, sedih, kecewa, semuanya tercampur menjadi satu. Sejujurnya, aku masih mencintai justin. Hanya saja aku takut jatuh ke dalam lubang yang sama. Memberinya kesempatan sekali lagi dan dia menyiakan-nyiakannya kembali. Apa salah aku bersikap seperti ini?

Aku tak menjawab kembali balasan dari justin dan memutuskan untuk segera tidur, tak peduli dia menungguku atau tidak.

--

Setelah membersihkan diri di pagi hari, aku segera membuka pintu kamar untuk membuat sarapan dan perkiraanku benar. Justin tertidur semalaman di depan pintu dengan menyenderkan dirinya tepat di pintu, saat aku membuka, dia hampir terjungkal kebelakang dan membuat alam dunianya hidup kembali. "Justin! Apa kau gila?!"

"Aku menunggumu. Hanya itu. Memangnya kenapa jika aku tertidur disini? Apa kau masih memperdulikanku?" aku berdecak dan memutar kedua bola mataku,

"Aku mau keluar."

"Izinkan aku untuk menjelaskannya."

"Ini bukan waktu yang tepat. Aku harus membuat sarapan."

"Apa kau akan membuatkannya untukku juga?"

Aku tak menjawab dan segera melangkahkan kaki menuju dapur untuk membuat sarapan sebanyak dua porsi. Tentu saja aku masih peduli dengannya, tapi rasa kecewa masih timbul dalam pikiranku.

Tepat setelah makan selesai, justin datang ke arah ruang makan dengan keadaan segar sehabis mandi dan wangi parfum........yang sangat aku rindukan. Sungguh, aku merindukan semua yang ada pada dirinya. Tapi, aku masih takut untuk mengulang semuanya dari awal.

"Tebakanku memang benar. Kau masih peduli."

"Jangan makan sarapanku jika kau terus berkomentar"

"Sensi sekali."

Justin duduk tepat disebrangku dan segera memakan sarapannya. Tak ada yang bersuara dari kami hingga akhirnya selesai.

"Biar aku yang mencuci." ucap justin cepat sembari mengambil dua piring bekasku dan bekasnya, dia langsung menuju ke dapur dan mencucinya.

Aku segera beranjak menuju pintu keluar, "Kau mau kemana?" tanyanya sedikt berteriak dari arah dapur.

"Ke rumah sakit." jawabku pelan dan kurasa dia mendengarnya.

"Aku ikut."

--

"Kau sudah sarapan?" aku duduk di sebelah kasurnya, menatap wajahnya yang mulai segar.

"Baru saja dibersihkan oleh suster. Justin?"

Aku mengangkat kedua bahuku, "Mungkin dia mengelilingi rumah sakit."

"Bagaimana tadi malam?"

"Apa maksudnya bagaimana?"

"Apa yang kalian lakukan?" tanyanya sedikit terkekeh.

"Apa kau menyuruhnya untuk menemaniku?"

"Tentu saja. Aku tak mungkin meninggalkanmu sendirian."

"Aku tak membutuhkan justin."

"Kau akan membutuhkannya kembali. Bagaimana hubungan kalian? Apa tadi malam kalian saling menjelaskan?"

Aku menceritakan justin yang ingin menjelaskan tapi aku abaikan dan dia menunggu di depan pintu hingga tidur, rafi berdecak,

"Kau ini jahat sekali! Berilah dia kesempatan."

"Aku masih takut."

"Tapi dia berusaha untuk membangunnya kembali dari awal gea. Pertahankanlah dia."

"Kenapa aku harus mempertahankan justin yang tak mempertahankanku?"

"Lupakan kejadian itu. Itu hanya kejadian bodoh yang tak perlu kau sangkutkan dengan saat ini. Mulailah semua kembali."

Aku menghela napas, "Itu sangat sulit."

"Semua tak akan sulit jika kalian saling percaya."

"Sulit untuk mempercayainya kembali."

"Tapi kau belum mengizinkan dia untuk menceritakan semua yang terjadi."

"Aku tak mau dia menceritakan kejadian itu. Itu akan membuatku semakin kecewa."

"Tapi itu akan membuat kalian semakin percaya. Kekecewaan pasti ada, tapi kepercayaan adalah hal yang paling utama. Aku tahu kau masih mencintai justin, dan begitupula sebaiknya. Hanya saja, emosional memimpin kalian berdua saat ini."

"Apa yang harus kulakukan?"

"Percaya dia. Dia akan membuatmu percaya."

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now