Lima Belas

498 67 2
                                    

Aku membaringkan diri di kamar. Melamun. Sampai berapa lama aku akan berada disini? Sampai berapa lama aku akan mengganggu rafi dengan urusanku? Sampai berapa lama hubunganku dengan justin seperti ini? Aku ini perempuan, tentu saja aku menangis......untuk yang entah ke berapa kalinya. Aku menatap langit-langit kamar sembari meneteskan air mata bodoh ini. Suara ketukan pintu bunyi, aku mengusap air mataku dengan cepat.

"Boleh aku masuk?"

"Tentu saja." aku menjawab dengan berusaha untuk tak menghasilkan suara yang parau. Lampu yang tadi mati dinyalakan oleh rafi.

"Menangis lagi?" tanyanya menghampiriku. Aku mengerutkan kening tanda 'bagaimana kau tahu?'

"Jangan bodoh. Mata dan wajahmu merah." aku hanya terdiam menatapnya. Dia duduk di sisi kasur tepat dihadapanku. Menarikku ke dalam dekapannya. "Aku tak suka melihatmu menangis karena seorang lelaki. Tapi untuk saat ini, menangislah selagi kau bisa. Aku disini."

Aku menempelkan wajahku ke bahu kirinya. Menangis. Entah sampai kapan aku akan menangis seperti ini. "Kau masih mencintainya?" tanya rafi sembari mengusap rambutku.

"Aku tak tahu untuk saat ini. Kau masih mencintai fanny?"

"Tidak. Aku sudah tak mencintainya karena aku tak mungkin mencintai orang yang tak menyukai kehidupanku. Hanya saja aku terkejut dia melakukan itu dengan justin."

"Apa yang harus kulakukan?" tanyaku. Aku melanjutkan kembali, "Maafkan aku. Seharusnya kau tak terlibat."

"Kau ini sahabatku. Urusanmu saat ini adalah urusanku juga." aku hanya terdiam, dia melanjutkannya, "Apa yang harus kulakukan jika justin menelepon?"

"Bilang saja aku telah di Canada."

"Kau serius?!"

Aku melepaskan pelukanku yang cukup lama. Entah, aku tenang berada di dekapannya untuk saat ini. Aku mengangguk, "Aku tak ingin melihatnya untuk saat ini. Semuanya hancur. Rencanaku dengannya selama sebulan musnah. Baru saja seminggu, sudah seperti ini. Tapi, aku akan pulang secepatnya, aku tak mau merepotkanmu dengan hal bodoh seperti ini. Maafkan aku."

Rafi berdecak dan memutar kedua bola matanya. "Sudah kubilang jangan berbicara seperti itu! Aku ini bukan orang yang belum kau kenal! Anggap saja aku kakakmu, terserah mau sampai berapa lama kau disini. Aku senang ada yang menemani."

Handphone rafi kembali berbunyi, dia langsung mengambil dari saku celananya, "Justin." ucapnya lagi.

"Diamkan saja. Aku merepotkanmu."

Rafi berdecak dan mengangkatnya, aku membulatkan kedua bola mataku.

"Pergi? Kemana dia pergi?!" tanya rafi berusaha untuk terdengar terkejut. "Ada masalah apa sampai dia pergi?" tanya rafi. Aku hanya tersenyun tipis. "Aku akan mencari dan menghubunginya." rafi menutup teleponnya.

"Kenapa kau tak bilang aku pulang ke Canada?"

"Itu terlalu bodoh dan dia tak akan mempercayai itu."

"Apa saja yang dia katakan?"

"Memberitahu kau pergi. Aku bilang ada masalah apa, tapi dia hanya menjawab masalah pribadi. Dia memintaku untuk membantu mencarimu." dia terkekeh, "Memangnya aku tak tahu apa yang telah dia lakukan bersama fanny? Bodoh."

"Terimakasih."

"Tak usah berterimakasih. Aku tahu kau lelah, cepatlah istirahat. Atau perlu aku temani sampai kau tidur?" tanyanya masih terkekeh.

"Aku bukan anak kecil. Keluarlah, aku bisa tidur sendiri."

"Baiklah. Selamat malam."

--

Aku bangun terlebih dahuku untuk membuatkan rafi sarapan, dia akan berangkat ke kantor. Aku menata dan menyelesaikannya di meja makan tepat saat rafi keluar kamar dengan pakaian yang telah rapi.

"Selamat pagi."

"Harum sekali. Kau masak apa?"

"Omelette."

Rafi menuju meja makan dan mengambil omelette yang telah tersedia, "Kau kutinggal. Tak apa-apa?"

Aku membulatkan mataku sembari memasukkan omelette ke dalam mulut, "Astaga. Tentu saja tak apa-apa. Aku ini bisa menjaga diri."

"Baiklah. Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Pukul enam aku sampai rumah." ucapnya setelah selesai sarapan. Aku tersenyum dan mengangguk.

"Semangat pak kerjanya!" ucapku sembari terkekeh.

Setelah rafi pergi, aku memutuskan untuk merapikan tempat tinggalnya yang cukup berantakan. Aku tak membuka handphone semenjak bangun tadi. Bukannya aku percaya diri, tapi aku yakin justin terus menghubungiku. Sungguh, aku tak tega melihatnya seperti itu, tapi ini semua kesalahannya.

--

Jam enam sore. Rafi belum pulang, sepertinya terkena macet. Aku memutuskan untuk menonton televisi dan tiba-tiba suara ketuka pintu berbunyi, dengan senyum lebar aku langsung mengangkat tubuhku untuk membukakan pintu.

"Rafi kau sudah pu...." aku terdiam saat pintu terbuka. "Justin?"

"Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya ketus. Aku menatap matanya tajam,

"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku lebih ketus. Bayanganku mendadak ke arah justin dan fanny. Mataku mulai panas. Aku berusaha untuk menutup pintu tapi justin menahannya.

"Tolong jangan menghindar."

Aku menatap justin yang benar-benar butuh harapan, "Apa yang mau kau jelaskan?"

"Aku melakukan ini semua untuk kita."

Aku membulatkan mataku lebar, "Kau melakukan hal seksual dengan fanny untuk hubungan kita? Kau gila? Astaga yang benar saja!"

"Fanny membencimu. Dia yang melakukan ini semua. Jika aku tak menanggapi fanny, dia akan menghancurkan kita."

"Bagaimana cara agar aku percaya? Kau menanggapi fanny dan kau tetap menghancurkan ini."

"Kau bilang akan pulang ke Canada? Kenapa kau kesini?" Tolol. Dia mengalihkan pembicaraan.

"Kau ingin aku ke Canada? Okay, aku akan ke Canada dan jangan ikuti aku lagi. Ini urusanku, ini kehidupanku, dan kau tak perlu repot untuk masuk ke dalamnya."

Justin tiba-tiba memukul pintu rumah sangat keras dengan pergelangan tangannya. Aku terkejut dan membulatkan mataku, "Ini bukan salahku!"

"Buktikan!" aku mengambil napasku dalam-dalam, "Aku lelah." aku berusaha untuk menutup pintu lagi dan justin tetap menahannya. Dia menatapku dan dengan cepat melumat bibirku. Aku mendorongnya cepat,

"Kau menolak kekasihmu?!" ucap justin terkejut.

"Bukan saatnya untuk ini. Buat aku kembali percaya."

"Apa ini semua karena rafi? Apa kau mulai menyayangi rafi kembali?"

Aku membulatkan mataku lebar, "Jangan pernah menuduhnya. Aku yang datang kesini, aku yang ingin tinggal disini sementara. Bukan suruhan dia!"

Mobil rafi datang, dia sudah pulang. Dia segera keluar dari mobil dan menghampiriku dengan justin,

"Justin?" tiba-tiba sebuah pukulan datang dari tangan justin menuju pipi rafi. Rafi memegang pipinya yang terkena pukulan.

"Kau berbohong! Kau bilang kau membantuku untuk mencari gea! Tapi nyatanya? Kau asik berdua dengan gea di tempat tinggalmu! Kau mau merebut dia dariku?!"

"Aku merebut dia? Aku merebut dia darimu? Apa kau sendiri yang melakukan semua kesalahan ini hingga gea lebih memilih tinggal di rumahku?!"

Justin bernafas lebih cepat dan menatap rafi tajam, justin bersiap untuk memukul rafi kembali.

"Justin! Ini bukan salah rafi! Aku yang menyuruhnya untuk bilang kalau aku tak tinggal disini! Jangan pernah menyangkut pautkan masalah ini dengannya! Kumohon pergilah. Aku tak mau melihatmu sekarang." aku menarik rafi masuk ke dalam dan segera menutup pintu. Suara pukulan ke arah pintu terdengar, justin benar-benar sedang tak waras.

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now