Tujuh Belas

416 58 3
                                    

HAI READERS! Yaampun maafkan aku ga update lagi. Alasannya kalian taulah, aku kelas 12...lulus...ya....gitulah.

Ohya, Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan! Selamat membaca kembali!

Aku masih terdiam kaku. Rafi berdecak, "Jangan percaya diri seperti itu. Aku tak mencintaimu lagi. Aku hanya butuh teman, itu saja. Percayalah."

Aku menarik napas dalam dan mengangguk pelan, "Baiklah. Tentu aku percaya." aku berbaring di sebelahnya, saling berhadapan. Entah, aku malah merindukan justin di saat seperti ini. "Tidurlah. Aku akan tidur saat kau terlelap." ucapku pelan.

Rafi segera memejamkan matanya dan tak lama aku ikut memejamkan mata. Hawa pagi mulai masuk melewati kamar, aku membuka mataku perlahan dan melihat rafi yang masih tertidur. Aku menaruh tanganku di jidatnya.

"Astaga!" ini tak sesuai dugaanku, keadaannya semakin memburuk, "Kita harus ke dokter!"

Rafi berdecak, "Aku tak apa-apa. Sungguh." erang rafi yang ikut bangun karenaku.

"Jangan membantah!" aku segera mengambil kunci mobil dan memanaskan mobil di garasi kemudia membuka gerbang. Tepat saat itu, justin berdiri di depanku. Orang yang aku rindukan hadir kembali. Orang yang aku benci hadir kembali.

Aku menatapnya sekilas dan segera berbalik mengingat rafi sedang tak baik, "Tolong jangan menghindar." ucapnya.

Aku berbalik dan menatapnya tajam, "Aku sedang tak menghindar! Rafi sakit dan aku harus membawanya ke rumah sakit." aku berbalik lagi berlari kecil dan kurasa justin mengikutiku ke dalam. Rafi masih berbaring lemas,
"Kita berangkat." rafi hanya mengangguk lemah. Benar saja, justin membantu. Aku memegang sisi kanan rafi dan justin sisi kiri. Perlahan menuntunnya ke dalam mobil.

"Temani rafi di belakang. Aku yang menyupir." perintah justin. Aku mengangguk mengiyakan. Justin langsung ke tempat duduk supir dan melaju menuju rumah sakit terdekat.

Aku terus menatap jalan dan rafi berbalikan sembari memegang seluruh wajahnya yang masih panas. "Bagaimana keadaan tubuhmu?" tanyaku pelan. Aku bisa melihat justin menatapku lewat kaca depan.

"Lemas." jawabnya singkat. "Aku tak tahu jika kau tak ada disini." Lanjutnya lagi.

--

Aku dan justin membawanya ke UGD. Suster dan dokter membawanya ke sebuah ruangan sehingga aku dan justin diam di ruang tunggu. Akhirnya dia memulai pembicaraan,

"Kenapa dia seperti itu?"

Aku hanya mengangkat kedua bahuku.

"Apa kau masih marah padaku?"

"Sangat." jawabku kesal. Pertama, dia melakukan hubungan yang nyaris intim sebelum kucegah. Kedua, dia memukul rafi tiba-tiba.

"Maafkan aku."

"Sungguh. Maaf itu tak cukup."

Dia menghela napas berat, "Kau tak pulang?"

"Aku akan menemani rafi disini. Kau tak pulang?" tanyaku masih so' peduli. Baiklah, sebenarnya aku ini peduli, aku merindukan justin. Tapi tak sepantasnya dia terus mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Aku akan pulang jika kau pulang."

Aku sama sekali tak menatap wajah bahkan matanya, pandanganku lurus ke depan menghadap tembok. Hening. Hingga akhirnya dokter keluar,

"Kalian bisa masuk ke dalam." aku mengangguk pasti langsung masuk ke ruangan UGD yang ditempati rafi. Infusan menempel di tangannya dan dia tersenyum tipis ketika aku masuk.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku sembari menatapnya iba, justin mengikutiku dari belakang. Rafi menatapku dan justin bergantian,

"Kalian sudah bermaafan?"

Aku berdecak, "Bagaimana keadaanmu rafi?"

Rafi memgedipkan matanya kepadaku berkali-kali, "Cukup baik. Ini hanya penyakit biasa." aku hanya mengangguk pasti. "Justin?"

"Dia diluar."

"Bisa kau menyuruhnya kesini?"

Aku menatap rafi untuk memastikan dia salah bicara atau tidak, "Aku serius." ucapnya sekali lagi. Aku menghela napas dan berbalik untuk mencari sosok justin yang ternyata masih terduduk diam di kursi tunggu.

"Rafi memanggilmu." Aku kembali duduk di ruang tunggu dan membiarkan justin masuk ke dalam ruangan, aku tau mereka akan membicarakan masalahku, kuputuskan untuk tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.

Rafi's

Aku menyuruh gea untuk memanggil justin. Tak lama, justin datang seorang diri tanpa gea yang mengikuti.

"Apa kabarmu?" tanyanya basa-basi.

"Tentu saja aku ini sakit. Kau baik-baik saja?"

"Tidak. Aku sangat tak baik."

"Gea?"

Justin menghela napas, "Maafkan aku."

"Untuk?"

"Semuanya."

"Semuanya?"

"Aku bercumbu dengan mantan kekasihmu, aku memukulmu, aku menyakiti sahabatmu....yang juga kekasihku."

"Itu yang mau kubicarakan." ucapku sembari menatapnya tajam. Wajahnya menyesal, kuharap seperti itu. "Kuakui kau benar-benar pria yang sangat brengsek. Gea mencintaimu." Tatapannya mulai sayu, "Kenapa kau bisa dengan fanny?"

"Entah. Aku sedang gila saat itu. Aku pergi ke toilet, setelah keluar dari toilet aku menuju dapur untuk mengintip fanny apa yang dia lakukan, dan itu terjadi begitu saja. Aku benar-benar sangat bodoh saat itu."

"Ya, memang. Kau sangat bodoh. Aku tak marah kau melakukan itu dengan fanny, aku tak peduli, dia hanya masa laluku. Tapi aku marah karena kau menyakiti sahabatku. Hanya itu."

"Apa yang harus kulakukan?"

"Buat gea percaya. Ceritakan semua yang terjadi."

"Kau tahu, membuat gea percaya adalah hal yang paling sulit."

"Jika kau tak bisa membuat dia percaya, kau melepaskannya, kau menyerah dengan keadaan itu."

"Bagaimana cara agar dia percaya?"

"Hanya kau yang tahu. Aku juga mencintai gea just, hanya sekarang sebagai sahabat. Tapi jika kau menyia-nyiakannya, aku akan merebut dia kembali. Pegang kataku baik-baik."

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now