Tiga Belas

497 68 0
                                    

Handphone justin berbunyi tanda pesan masuk saat kami makan siang di meja makan. Dia menghiraukannya,

"Kenapa tak dibaca?"

"Kita ini sedang makan. Itu sangat tak sopan."

"Tak apa. Siapa tau itu penting."

Dia berdecak, "Nanti saja gea. Jangan ada yang mengganggu kita untuk sekarang."

Dia menang. Tanpa diberitahu atau tanpa melihatpun aku yakin itu pasti si peneror tersebut. Entah apa yang dia mau untuk meneror justin bahkan akan menggangguku jika justin tak menurutinya.

"Kita jalan-jalan kapan? Besok?" tanyanya memulai pembicaraan.

Aku mengangguk setuju, "Okay. Besok kita berkunjung ke rumah fanny yu?"

"Boleh."

Aku mencuci piring dan justin lebih dulu ke kamar. Tak lama, aku masuk ke kamar dan mendapati justin yang duduk di sisi kasur sembari memainkan hpnya memunggungiku. Apa ia tak menyadariku disini? Dengan langkah yang pelan tanpa menutup pintu, aku mendekatinya dan melompat ke kasur sembari memeluknya dari belakang dengan melingkarkan kedua tanganku pada lehernya.

"NGELAMUN?!" Ucapku sembari terkekeh. Dia tersentak dan aku melihat dia menekan handphone nya untuk keluar dari aplikasi pesan dan menguncinya. Ya, dia sedang membaca pesan. Justin ikut terkekeh dan menjatuhkan badannya ke belakang sehingga aku tertindih.

"Astaga! Kau mengejutkanku!" justin tetap terdiam dengan posisinya sehingga aku memukul kedua bahunya.

"Berat! Yaampun!" justin membalik badannya dan menggelitiku. "Hentikan!" aku memukul-mukul puncak kepalanya cukup keras. Dia tertawa dan terus menggelitiku.

"Ini balasanmu karena mengejutkanku!" wajah justin saat ini tepat berada di depan wajahku. Dia menatapku dan melumat bibirku perlahan. Aku tersenyum dalam ciuman itu dan menutup bibirnya dengan telapak ku agar tak mencium lagi. Dia menjilat-jilat telapak tanganku,

"Aku ngantuk!" aku langsung bangun, begitu juga justin yang ikut terbangun karena sedari tadi dia berada di atasku.

Bibirnya menandakan tanda kecewa, menjijikkan. Aku hanya memutar bola mataku dan melemparkan tubuhku ke atas kasur untuk beristirahat sejenak. Justin akhirnya (mungkin dengan terpaksa) ikut berbaring di sebelahku. Aku memunggunginya dan perlahan tangannya melingkar di pinggangku, sebuah kecupan datang mengenai belakang kepalaku.

"Aku akan menemanimu. Tidurlah, kau pasti sangat lelah." aku hanya tersenyum walaupun dia tak akan melihatnya. Perlahan, mataku tertutup dan semuanya menjadi gelap.

--

Aku memeluknya sekilas saat dia membukakan pintu rumah.

"Astaga! Aku merindukanmu!"

"Hey! Dari kapan kau disini?"

"Kemarin kami baru sampai di Bandung." aku enggan menceritakan bahwa aku bertemu dengan rafi terlebih dahulu di Jakarta. Fanny menyuruh aku dan justin masuk, kami mengangguk dan menaruh bokong kami di sofa milik fanny.

"Kau sendirian?"

"Ya. Semuanya sibuk. Kebetulan aku masih menganggur, jadi aku hanya berdiam diri di rumah." aku hanya mengangguk. Fanny menjauh, sepertinya dia sedang membawakan minuman untuk kami.

"Aku ingin ke toilet."

"Apa kau tahu?" tanyaku sebelum dia pergi.

"Aku akan menanyakan fanny." aku hanya mengangguk. Aku melihat sekeliling rumah fanny, bosan. Aku mengambil handphone dari tasku, sebelumnya ingin melihat handphone justin diam-diam, tapi kurasa dia menaruh di saku celananya. Lima menit. Kenapa justin ataupun fanny tak ada yang muncul sama sekali disini?!

Dengan tak sopan, aku langsung masuk ke dalam rumah, mencari-cari fanny dan justin. Rumahnya cukup besar. Aku segera ke arah kamar mandi untuk memastikan justin tak tersesat. Aku mengetuk pintu kamar mandi dan tak ada balasan. Aku segera melangkahkan kaki menuju dapur untuk melihat fanny.

Beberapa langkah menuju dapur, aku mendengar suara desahan, aku langsung melangkahkan kaki lebih cepat dan mendapati justin yang sedang bercumbu bersama fanny. Selagi bercumbu, justin mengangkat fanny ke atas meja yang tak jauh dari mereka. Aku mengedipkan mata beberapa kali sembari menahan air mata untuk memastikan aku tak salah liat. Tangan justin dengan nakal mulai masuk ke dalam baju fanny,

"Justin...." ucapku pelan nyaris berbisik. Mereka langsung berhenti dan justin langsung menatapku dengan tatapan yang terkejut, ia membulatkan matanya lebar dan aku melihat fanny yang menatapku terdiam tanpa melakukan apapun. Justin menatap fanny sekilas dan langsung meninggalkannya untuk mendekat ke arahku. Dengan cepat justin memelukku sembari mengecup puncak kepalaku,

"Ini tak seperti yang kau bayangkan. Aku bisa jelaskan."

"Aku mau pulang." suaraku parau. Aku tak membalas pelukannya. Aku langsung mendorongnya jauh dan melangkah cepat menuju ruang tamu untuk mengambil tas dan saat aku akan melangkah keluar, justin menahanku dengan memegang pergelangan tanganku,

"Kau mau kemana?"

"Kubilang aku mau pulang."

"Aku ikut."

"Apa kau tak akan menjelaskan kejadian tadi?"

Dia terdiam. Aku memunggunginya. Bajingan, dia sama sekali tak ada alasan. Aku melangkahkan kaki lagi untuk menuju kawasan taksi yang tak jauh dari rumah fanny. Justin sama sekali tak mengikutiku, apa dia sekarang bercumbu lagi bersama fanny?

Sepertinya wajahku memerah, aku yakin semua orang melihatku dengan tatapan aneh dan aku benar-benar tak peduli. Setelah sampai di kawasan taksi, aku langsung masuk ke salah satunya dan pulang. Mengeluarkan air mata selama perjalanan adalah hal yang paling kubenci, tapi melihat kejadian tadi adalah hal yang paling bahkan lebih kubenci. Kenapa mereka bisa melakukan itu? Apa awal dari skenario tadi?

Aku membuka pintu rumah, menutupnya tanpa menguncinya karena aku tak mungkin membiarkan justin diluar, aku menuju kamar dan membereskan semuanya. Liburanku dengan justin tak sesuai ekspektasi. Membereskan seluruh barang-barangku menuju koper. Tepat saat aku menutup koperku dan pergi, justin datang menuju kamar.

"Apa yang kau lakukan? Kau mau kemana?"

"Sudah kubilang aku mau pulang. Bukan pulang kesini, tapi ke Canada."

"Apa kau gila?! Tiketmu? Semuanya? Liburan kita?"

"Apa kau masih peduli dengan itu semua?!" aku sedikit membentaknya. Berusaha untuk tak mengeluarkan air mata lagi.

"Kumohon. Jangan pergi."

"Kau yang merusak liburan kita. Aku sudah muak, bahkan kau memberi penjelasan kepadaku saja tidak." aku langsung membawa koperku untuk benar-benar meninggalkan tempat bahkab wilayah ini. Liburanku selama di bandung dan rencana kami ke Belitung gagal, semuanya sirna, kejadian yang terjadi selama beberapa detik membuatku ingin menghapus segalanya.

"Aku bisa menjelaskannya?"

Aku yang telah melewati justin berhenti lagi. "Silahkan jelaskan. Aku tak peduli. Aku percaya kau pergi ke toilet, apa sekarang aku harus percaya dengan penjelasanmu?" dia terdiam lagi. Pria macam apa? Apa dia benar-benar melakukannya dengan fanny karena tergoda? Aku berdecak dan berjalan lagi. Justin langsung memelukku dari belakang,

"Maafkan aku." suaranya parau.

"Saling percaya itu sulit." balasku. Dia menaruh wajahnya di bahuku dan kurasakan dia terisak. Aku tak daoat menahan semuanya, perlahan tetesan air mata turun mengenai pipiku.

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now