Enam Belas

601 73 11
                                    

Aku menatap rafi dengan pipi yang sedikit lebam karena pukulan tadi. Aku segera mengambil kotak P3K dan menghampirinya yang terduduk di sofa. Tak seharusnya aku datang kesini, ini malah menambah masalah.

Aku mengobati lukanya, "Ssshhh...." dia meringis.

"Maafkan aku."

"Ini bukan salahmu."

"Jelas ini salahku. Maafkan aku."

"Apa kau baik-baik saja? Apa justin melakukan sesuatu?"

Aku menggeleng pelan sembari tersenyum tipis, "Dia tak melakukan apapun karena kau datang. Aku bersyukur kau datang, tapi aku sangat tak bersyukur kau dipukul olehnya."

"Pikirannya belum tenang. Biarkanlah, aku sudah biasa seperti ini. Aku ini lelaki." aku terdiam, ''Terimakasih." ucapnya setelah aku selesai memgobati bekas pukulan itu.

"Jangan berterimakasih. Aku sudah seharusnya melakukan ini." aku menatap rafi dalam, "Aku yakin justin membencimu. Maafkan aku, aku seharusnya tak datang kesini. Aku tak mau membuatmu semakin repot. Aku akan pulang besok."

"Ke canada?!" aku hanya memgangguk pasti. "Besok? Astaga yang benar saja!"

"Aku tak mau justin mengganggumu."

"Aku pun tak mau justin mengganggumu, maksudku....melakukan sesuatu yang tak seharusnya dia lakukan."

"Tapi aku harus pulang."

"Bagaimana jika aku tak mengizinkanmu untuk pulang?" tanyanya serius. Aku mengerutkan kening,

"Kenapa kau melarangku?"

Dia mengedipkan mata beberapa kali, "Aku senang kau menemaniku. Aku senang kau disini. Kumohon, tetaplah disini. Kau pulang saat aku ke canada, aku memang ingin kesana, tapi bukan sekarang."

"Tapi....tapi kenapa?"

"Aku...aku hanya butuh....aku hanya butuh seorang teman. Itu saja. Kau mau?"

"Tapi aku tak mau membiarkan justin terus menyakitimu."

"Aku lebih tak mau justin yang menyakitimu. Lebih baik dia menyakitiku daripada kau yang harus disakiti. Kumohon."

Aku menutup mataku, "Tapi aku takut."

"Aku disini. Percayalah. Jika ada apa-apa, kau bisa menghubungiku."

Aku memeluknya cepat, dia membalas pelukan itu, "Aku tak tahu harus berbuat apa jika aku tak menemuimu. Te..."

"Jangan mengucapkan itu. Aku bosan." ucapnya memotong pembicaraanku. Aku terkekeh dan melepas pelukan, "Aku lapar."

Aku membulatkan mataku, "Astaga! Aku belum membuatkan makan malam! Bersihkan dirimu, aku akan masak."

Rafi hanya terkekeh, "Tak usah berlebihan. Biar kubantu."

"Tak perlu. Bersihkan saja dirimu. Aku bisa sendiri."

Rafi mengangkat kedua alisnya, "Baiklah jika kau memaksa." rafi segera menuju kamarnya.

--

Aku dan rafi menonton dvd di ruang tengah. "Kau besok bangun pagi, tak tidur?" tanyaku saat menatap jam yang telah menunjukkan angka sebelas lewat sebelas lewat lima belas. Rafi hanya menggeleng dengan tatapan yang masih lurus ke arah film.

Aku berdecak, "Jangan salahkan aku jika besok kau telat."

"Aku ini bukan anak sekolah yang masih harus di bangunkan gea. Aku memasang alarm dan aku selalu bangun."

"Baiklah." aku menguap, "Aku mengantuk."

"Tidurlah dahulu disini."

"Kau gila?!"

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now