Tiga

686 73 2
                                    

"Aku merindukanmu."

"Tadi siang kita baru saja bertemu dan rumah kita berdekatan dan kau merindukanku?" tanyaku memasang tampang aneh walaupun dia tak akan melihat dan sejujurnya ada sedikit rasa bahagia yang menyeruak.

"Jadi kau tak merindukanku?"

"Jika tidak."

"Baiklah, aku akan mencincangmu."

"Hmm. Terlalu berlebihan. Kau akan mencincangku dan kau juga akan merindukanku jika aku mati."

"Baiklah gea, kau menang. Boleh aku kerumahmu?"

Sebuah senyuman datang dari bibir mungilku, "Biar aku saja yang kerumahmu. Tunggu lima menit lagi." aku segera menutup telepon dan bersiap untuk menuju rumah justin, tak lupa pamit.

Kupakai jaket ungu tebal, udara malam ini cukup dingin. Hanya lima menit berjalan, aku sudah sampai di depan gerbang rumah yang tak asing lagi. Segera saja kubuka dan berjalan menuju pintu rumah yang tak dikunci. "Selamat malam!" ucapku sedikit berteriak. Kosong. Aku langsung menuju kamar justin dan mendapati dirinya di balkon dan memetim gitarnya pelan dengan nada yang asal.

"Hey." ucapku sembari mengecup bibirnya. "Menungguku?"

"Menurutmu?"

Kuarahkan bola mataku ke atas "100% ya. Aku tak percaya diri kan?"

Sekarang, justin yang mengarahkan bola matanya ke atas, "30% kau percaya diri."

"Mau memainkan gitar untukku gak?"

Justin tersenyum, "Dengan senang hati."

Sebuah petikan gitar mengalun, tanpa suara justin. Jari-jarinya bermain dengan handal, nada-nada tinggi pun dapat dilakukan. Bahagia. Selalu bahagia. Langit hitam, hanya ditemani lampu dari balkon, angin yang cukup dingin, alunan gitar, membuat segalanya menjadi sangat tenang. "Itu sungguh indah." ucapku saat justin mengakhirinya.

"Ayo masuk. Aku tahu kau kedinginan." ucap justin sembari memberikan telapak tangannya ke arahku. Aku menaruh telapak tangan diatas telapak tangannya, berjalan menuju kamar justin.

"Mom pattie mana?"

"Memangnya kau tak bertemu?"

Aku menggeleng. "Mungkin di kamar mandi atau sudah tidur." ucapnya. "Nonton yu!"

Aku tersenyum dan mengangguk semangat, "Kau menyiapkan film dan aku akan membuat minuman hangat."

Aku beranjak ke bawah dan menemukan mom pattie yang sedang menonton televisi. "Mom!" aku berlari dan memeluknya hangat, "Darimana saja?"

"Kau disini? Yaampun. Mom tadi di kamar ketiduran. Udah lama?"

"Baru. Aku mau buat minuman untuk nonton. Ikut yu mom?"

Pattie memutar bola matanya, "Aku tak mungkin mengganggu kalian. Cepatlah buat minum, kurasa justin telah menunggumu." aku terkekeh dan menuju dapur untuk membuat dua cangkir coklat panas sekaligus mengambil beberapa cemilan.

"Lama banget." ucap justin saat aku masuk ke kamarnya.

"Tadi ketemu mom dulu. Nonton film apa?"

"Pay the ghost, berani?"

"Horror? Siapa takut!"

--

Aku berusaha untuk membuka mata yang cukup berat, menyadari apa yang terjadi, aku membuka mata lebar. Aku melihat jam di handphone,

"Astaga! Aku ketiduran!" Baiklah, aku bukan ketiduran, aku tertidur alhasil aku menginap di rumah justin dan kepalaku tersender di pundaknya yang ikut tertidur. Sepertinya aku dan justin tak menonton semuanya hingga selesai. Aku menatap lekuk wajahnya yang begitu tampan, dia tertidur nyenyak dan aku tak mungkin membangunkannya. Perlahan aku beranjak dan ke arah dapur untuk membuatkan sarapan, dan sepertinya pattie sedang mandi pagi.

Aku membuat tiga waffle. Untukku, justin, dan tentu saja pattie. Tak lama untuk membuatnya, aku segera menata ruang makan dan pattie serta justin keluar secara bersama. Hanya saja pattie baru selesai mandi dan justin baru selesai bermimpi. "Selamat pagi! Ayo kita sarapan!"

Pattie dan justin langsung menghampiri meja makan. "Mom, maafkan aku tertidur di kamar justin."

Pattie memutar bola matanya, "Astaga! Memangnya kau ini siapa? Orang asing?" ia terkekeh.

"Rajin sekali." ucap justin dengan wajah sehabis bangun yang sangat terpampang.

"Kau mengatakan aku harus bangun pagi? Sekarang aku bangun pagi kau pun protes juga?" ucapku kesal. Justin menahan tawa,

"Baiklah. Terimakasih gea."

--

Setelah sarapan, aku beranjak pulang untuk membersihkan diri. Handphone berbunyi saat aku akan beranjak ke kamar mandi.

"Gea." ucapnya panik dari sebrang sana.

"Rafi? Kau baik-baik saja?"

"Tidak. Aku sangat tak baik. Fanny, dia sama sekali tak mau berbicara denganku." aku memutarkan bola mataku.

"Karena masalah kau akan pindah ke jakarta?"

"Ya. Tentu saja. Lima hari lagi aku akan ke jakarta dan fanny semakin marah. Apa yang harus kulakukan?"

"Astaga. Apa fanny mencintaimu secara tulus?!"

"Hey! Jangan berbicara sepertu itu!"

"Aku bertanya, apa salah? Kenapa fanny tak suka kau mencari uang di jakarta? Apa bandung-jakarta itu jarak yang jauh? Oh ayolah! Ini zaman modern, bandung-jakarta itu bukan hal yang sulit. Kau harus berbicara dengan fanny secara baik-baik. Aku tahu kau keras kepala dan jangan lakukan hal itu di depan fanny."

Rafi berdecak, "Ini lebib sulit dari yang kau bayangkan. Aku bisa-bisa gila jika seperti ini terus!"

"Hush! Kau ini! Cepatlah berbicara dengannya atau kau akan menyesal saat di jakarta nanti! Aku mau mandi, selamat malam waktu sana."

Aku menutup teleponnya. Ada apa dengan fanny? Dia seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal oleh ibunya. Dia benar-benar berlebihan.

Setelah selesai mandi, aku ke arah ruang televisi sembari membuat minuman segar. Nenek, mom, dan tanta sepertinya sedang berbelanja. Tiba-tiba suara pintu diketuk terengar ke gendang telingaku, aku dengan malas beranjak ke arah pintu dan membukanya.

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now