Delapan

610 66 4
                                    

Aku yang sedang duduk di ayunan bersama justin beranjak karena suara pintu rumah yang terketuk. Aku segera membukakan pintu dan membulatkan mata lebar, "Sonya?"

"Oh. Eh. Hi. Kau disini?"

"Memangnya kenapa?" tanyaku berusaha untuk tetap biasa dan terlihat tolol dihadapannya. Entah, aku muak dengannya.

"Ah. Tidak. Aku hanya ingin mengunjungi rumah justin."

"Ada apa? Tumben?"

Sonya tersenyum, "Apa aku mengganggu kalian?"

"Tentu saja tidak. Ayo masuk. Justin di taman belakang." ajakku dusta walaupun sebenarnya aku benar-benar tak sudi membiarkannya menginjakkan kaki di rumah justin.

Aku dan sonya melangkahkan kaki bersamaan menuju taman belakang tepatnya menuju justin. "Justin. Ada sonya." ucapku pelan. Justin berbalik dan melihat aku dan sonya secara bergantian. "Sonya, aku ke dapur dulu ya. Mau mengambil minum."

Justin

Aku yang duduk sendiri di ayunan dikejutkan oleh suara pelan milik gea.

"Justin. Ada sonya." aku langsung berbalik dan melihat gea dan sonya secara bergantian. Ini benar-benar tak beres. "Sonya, aku ke dapur dulu ya. Mau mengambil minum." dan ini semakin tak beres.

"Biar aku saja." ucapku cepat. "Kalian duduklah." aku langsung beranjak menuju dapur untuk mengambil minuman yang telah tersedia di kulkas. Jika gea yang mengambil, keadaan semakin tak beres. Apa sonya memang menyukaiku? Atau aku yang terlalu percaya diri? Aku segera menuangkan sirup di tiga gelas dan memberikannya ke gea dan sonya.

"Silahkan diminum."

"Terimakasih." ucap sonya tersenyum padaku dan kulihat gea terdiam.

"Jadi, ada apa sonya?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Aku hanya ingin berkunjung kesini."

"Untuk apa?"

"Sudah kubilang aku ingin berkunjung saja gea."

"Untuk? Pasti ada alasannya."

"Aku hanya ingin bertemu dengan kalian berdua."

"Astaga, gunakanlah alasan yang logis. Kau tak ingin bertemu denganku, kau hanya ingin bertemu dengannya. Jika kau memang ingin bertemu dengan kami, saat aku membukakan pintu kau tak akan terkejut melihatku." ucap gea dengan nada yang kesal. Aku hanya bisa terdiam melihat dua perempuan yang saling membalas kata.

"Aku tak bermaksud seperti itu. Sungguh, aku tak menyukainya."

Aku dan gea mengerutkan kening, "Sungguh, aku tak menanyakan kalau kau menyukai justin atau tidak." ucap gea dengan senyuman yang terlihat, sinis? Dia ini memang perempuan buas, untung aku mencintainya. Sejujurnya, aku sedang menahan tawa.

Sonya terpaku menatap gea dan aku bergantian. Terjebak? Apa sonya terjebak?

"Apa benar kau menyukaiku?" tanyaku pelan. Sekarang, sonya tak berani menatapku.

"Maafkan aku." ucapnya pelan. Ya, aku mengerti.

"Terimakasih. Terimakasih telah menyukaiku. Tapi maaf, aku memilih dia. Aku memilih gea." ucapku berusaha untuk tak menyakiti hatinya.

"Aku tau. Maaf, aku harus pulang." sonya beranjak pergi menjauhi kami dan aku sama sekali tak menggubrisnya.

Gea's

Sonya menjauh. Aku terdiam begitu pula dengan justin. Akhirnya dia kembali duduk di hadapanku.

"Masih cemburu?" tanyanya menahan tawa.

"Dia benar-benar aneh."

"Kau benar-benar garang."

"Sungguh, aku membencinya." aku berdecak.

Justin menahan tawanya, "Jangan memikirkannya lagi. Itu sangat tak penting."

Suara handphone dariku berbunyi, aku menatap layarnya, Rafi. Justin melihatnya, aku menatapnya,

"Aku tak berhak untuk cemburu. Dia sahabatmu. Angkatlah." aku tersenyum dan segera mengangkatnya.

"Gea! Astaga! Kau lama sekali!" ucapnya langsung. Aku memutar bola mataku. Aku load speaker-kan agar justin tan curiga, atau mungkin agar dia tak kepo.

"Aku ini bukan manusia otomatis yang jika ada telepon darimu langsung di angkat! Ada apa?"

Rafi menghela napasnya berat, "Aku sudah tak bersama fanny lagi."

Aku menbulatkan mata lebar, "Jangan bercanda!" aku menatap justin yang terlihat bingung pula.

"Sebercanda-bercandanya aku, aku tak mungkin berbohong jika aku putus dengannya!"

"Bagaimana bisa? Cepat ceritakan!"

"Entah. Dia tak mau berbicara denganku lagi. Kurasa dia masih marah karena kejadian menemukan barang itu." Aku terdiam, bingung untuk merespon apa, "Sudahlah. Aku benar-benar tak mau membicarakan itu. Jadi, bagaimana kabarmu dengan justin?"

"Sangat baik." ucapku tersenyum sembari menatap justin yang ikut tersenyum pula. "Di jakarta banyak perempuan yang lebih baik dari fanny. Jangan memikirkannya terus, jadikan...."

"Dia sebagai memori terindah. Aku mengetahui itu gea. Terimakasih."

"Pikirkanlah kerjamu itu. Kau besok mulai kerja kan?"

"Hm. Kau kapan ke indonesia? Aku merindukan kalian."

"Aku akan memberitahu secepatnya."

"Jangan lupakan satu hal."

"Oleh-oleh aku tau itu."

Rafi tertawa, "Baiklah, aku mau membereskan kamarku. Terimakasih untuk waktunya." dia menutup telponnya.

"Justin."

"Hm?" justin mengangkat kedua alisnya.

"Apa aku salah kalau cemburu? Apa aku terlalu mengurungmu?"

Justin mengerutkan kening, "Tentu saja kau tak salah. Kau memang harusnya cemburu. Berarti kau masih peduli padaku kan?"

"Kau tak marah?"

"Astaga gea! Marah untuk apa? Aku tau kau memang tak mau kehilangan diriku."

Aku memutar bola mataku, "Kau terlalu percaya diri?"

"Yang penting fakta kan?"

--

"Aku akan menjemputmu." ucapnya dari sebrang sana. Aku bersiap-siap untuk menemani justin mencari sekolah musik di kota kecil ini. Justin menjemputku menggunakan mobilnya, hanya dengan waktu 10 menit, bunyi klakson terdengar dari kamarku. Aku langsung menuruni tangga yang membawaku ke lantai satu, tak lupa untuk pamit ke mom, nenek, dan tante. Aku segera keluar rumah dan memasuki mobil justin,

"Jadi, kau udah nyari?"

"Gea, kita sekarang akan mencarinya."

"Astaga justin! Maksudku lewat internet, memangnya kau tak mencarinya?"

"Ada salah satu sekolah musik di daerah sini, Canada Music Academy. sekarang kita kesana aja dulu." aku hanya mengangguk mengiyakan. Setelah sampai di tempat tujuan, aku dan justin keluar dari mobil tak lupa membawa berkas yang dibutuhkan untuk daftar ke sekolah-sekolah.

Justin masuk ke sebuah ruangan dan aku menunggunya di luar. Tak lama, justin keluar,

"Jadi? Bagaimana?"

"Aku harus test musik dulu, baru bisa masuk."

"Kapan?"

"Sekitar dua jam lagi. Sekarang jam makan siang, mau mencari makan?" aku hanya mengangguk. Justin menggenggam tanganku erat, berjalan kaki mencari tempat makan yang tak jauh dari sini.

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now