Empat

641 69 1
                                    

"Sonya?! Hi!" sonya memelukku erat. Aku dan justin memang lumayan dekat saat sekolah dulu, entah kapan terakhir aku bertemu dengannya, padahal rumah kami berdekatan. "Ayo masuk!" aku menarik tangannya dan menuntun ke arah ruang tamu.

"Justin gak kesini?"

"Mau aku telepon. Aku harus memberitahu kalau kau disini. Tumben, ada apa?"

"Kali-kali boleh kan? Kita terakhir ketemu kayaknya waktu perpisahan deh. Kamu kuliah dimana? Udah lulus?"

"Ya, aku udah lulus. Aku sempat kuliah di Indonesia. Lalu kembali kesini saat lulus."

"Indonesia? Kenapa kesana?"

Tidak. Aku tak mungkin menceritakan kejadian gila itu. Aku tersenyum simpul, "Ingin saja." jawabku bohong. "Aku ke dapur dulu ya, sekalian mau nelepon justin." sonya mengangguk pasti. Aku segera meninggalkannya dan mengambil sirup yang telah tersedia di kulkas dan menuangkannya ke tiga gelas kaca khusus untuk tamu. Aku menelepon justin dan menyuruhnya untuk kesini.

Aku mengambil nampan dan menyimpan tiga gelas di atasnya kemudian menaruhnya di meja tamu dan tak lama kemudian justin datang. "Sonya?" tanya justin bingung. "Kau disini?"

"Aku menyuruhmu kesini karena ada sonya." ucapku memastikan dan justin hanya mengangguk. Justin duduk disebelahku, sonya disebrang kami.

"Justin? Kau kuliah dimana?" tanya sonya mengawali pembicaraan. Tidak, justin tak kuliah. Karena kecelakaan itu, membuat dirinya harus beristirahat sangat lama. Justin tak memikirkan kuliah, kurasa dia memikirkan masalah musiknya. Musisi. Itu yang dia cita-citakan.

Justin menggeleng dan tersenyum tipis. "Aku tak mengambil kuliah. Otak kiri ku tak terlalu berjalan untuk pelajaran eksak. Mungkin aku akan menggunakan otak kananku untuk bermusik."

Sonya hanya mengangguk. "Bosan." ucapku menyinggung. Keadaan mendadak hening setelah membicarakan perkuliahan singkat.

"Ini hampir jam makan siang, bagaimana jika kita memasak?" saran sonya dengan nada yang semangat.

"Boleh. Ayo!" ucap justin beranjak dan menarik tanganku ke arah dapur diikuti dengan sonya di belakang.

"Mau masak apa?" tanyaku bingung.

"Nasi goreng?" tanya justin dengan kedua alisnya yang mengangkat. Aku memutar dua bola mataku,

"Astaga! Itu membosankan! Jangan nasi goreng!"

"Baiklah jangan." ucap justin akhirnya. "Lalu? Aku bosan makanan amerika."

"Aku bosan makanan indonesia." balasku.

"Oh, ayolah kalian ini seperti anak kecil." ucap sonya tiba-tiba. "Kalian sangat lapar? Jika tidak, kita bisa membuat kue?" sarannya lagi.

"Aku setuju dengan sonya." ucapku tersenyum puas.

"Aku ikut saja lah." justin akhirnya mengalah. Kami menyiapkan semua bahan-bahannya, kami memilih untuk membuat kue green tea dengan isi coklat yang meleleh. Ekspektasinya. Semoga saja berhasil.

Sonya memotong coklat menjadi bagian-bagian kecil untuk dilelehkan. Hingga akhirnya sebuah teriakan terdengar membuat aku yang mengaduk adonan dan justin yang mengambil alat-alat menoleh. Sonya, tangannya teriris pisau.

"Aw!" ucap sonya sambil mengibaskan tangannya. Sebuah darah mengucur dari jari telunjuk sebelah kirinya. "Sstttt." ucapnya meringis.

"Sebentar, aku ambilkan kotak P3K." ucap justin cepat dan meninggalkan kami di dapur. Aku menghampirinya.

"Aduh aku merepotkan, maafkan aku." ucapnya.

"Tak apa-apa. Ini kecelakaan." tak lama, justin datang membawa kotak P3K. Justin mengeluarkan kapas dan obat-obatan untuk dioleskan ke jari sonya yang terluka. Aku terdiam melihatnya, sonya menatap justin dan lukanya bergantiah. Entah, perasaanku tak enak. Pikiran negatif muncul, sepertinya sonya menyukai justin. Aku meninggalkan mereka dan melanjutkan tugasku untuk mengaduk adonan. Berusaha menghilangkan sikap negatif itu.

"Terimakasih justin." ucap sonya yang terdengar ke telingaku.

"Tak masalah. Lain kali kau harus hati-hati. Tak usah buru-buru." aku memutar kedua bola mataku. Astaga! Kenapa aku harus cemburu? Oh ayolah, ini benar-benar payah.

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now