"Lo berdua? Tunangan? Sama siapa?" tanya gue antusias.
Tiba-tiba, Tasya menggandeng Rio, dan Tisya menggandeng Bara.
"Kalian? Seriusan? Ih kok nggak cerita?" ucap gue yang masih belum percaya.
"Serius banget lah. Kalo nggak serius, mana mungkin tunangan," sahut Rio.
"Jadi ini kejutan buat gue? Jahat banget deh nggak ada cerita," rajuk gue.
"Bukannya gitu Na, kita emang sengaja mau ngasih tau waktu lo disini aja," jawab Tisya.
"Jadi sejak kapan kalian-kalian ini jadian?" tanya gue.
"Gue sama Rio dari satu tahun yang lalu," ucap Tasya.
"Kalau gue sama Bara sudah 2 tahun," sambung Tisya.
"Gila ya, rapet banget kalian sembunyi dari gue ya," sahut gue. "Nggak sia-sia ya lo Sya, dulu waktu SMA ngebet banget ngajakin ke coffee ini terus buat liat Bara," sambung gue lagi.
"Hus! Lo mah buka kartu deh Na," ucap Tisya dengan wajah memerahnya.
Kami berenam pun melanjutkan obrolan, mulai dengan membahas cerita mereka setelah gue tinggal ke Thailand, sampai akhirnya mereka lulus, tanpa ada cerita yang tertinggal, kecuali tentang Arif.
Ditengah obrolan, David mendadak mendapat telpon dari mamahnya di Bandung yang menyuruhnya untuk segera pulang karena salah satu saudaranya mengalami kecelakaan.
"Aku ikut deh," usul gue setelah David menceritakannya.
"Nggak usah, kamu disini aja," sahut David sambil mengelus puncak kepala gue, kemudian berlalu.
Obrolan kembali berlanjut setelah diinterupsi oleh kepergian David.
"Sebenarnya, gue mau ngajakin Arif tadi, tapi nggak jadi," ucap Rio.
"Kenapa?" tanya gue.
"Nggak enak aja sama lo, sama David," sahut Rio. "Lo kan ada masa lalu yang suram sama Arif, hahaha."
"Rese!"
Tanpa terasa sudah pukul 13:00, sudah 3 jam kami di coffee shop itu, akhirnya kami memutuskan untuk membubarkan diri.
Gue berjalan ke luar coffee sambil membenarkan isi tas setelah memasukkan dompet. Tiba tiba bahu gue tanpa sengaja menyenggol seseorang dari lawan arah.
"Oh, maaf nggak seng-" ucapan gue berhenti, sorot mata itu menatap gue dalam, seketika waktu seperti berhenti sejenak.
"Apa kabar, Nana?" Tanyanya, dan seketika kesadaran gue pulih sepenuhnya.
"Baik Rif, maaf gue buru-buru."
Entah sudah berapa kali semesta memaksa gue dan Arif bertemu dalam ketidaksengajaan. Sudah jelas, pertemuan itu hanya sebatas bertanya kabar, dan tanpa kelanjutan. Sudah seharusnya seperti itu.
Hujan deras mulai memelankan laju taksi yang gue tumpangi siang itu, seketika Jakarta yang panas dengan hiruk pikuknya berubah menjadi sedikit sejuk, walaupun dengan kemacetan yang masih saja tak terelakkan.
***
Tibalah hari dimana gue wawancara di Rumah Sakit Medika, wawancara dilakukan setelah seminggu yang lalu gue mengajukan surat lamaran kerja disini dengan posisi apoteker pengelola apotek. Kebetulan rumah sakit ini sedang mencari apoteker baru menggantikan apoteker lama yang pindah ke Kalimantan.
Wawancara berlangsung cukup cepat dari perkiraan gue, dan gue bersyukur karena lancar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Oh iya, David, dia sudah bekerja di salah satu apotek besar di Bandung, baru sekitar 3 hari yang lalu.
Dua hari berselang, gue akhirnya mendapat telpon dari Rumah Sakit Medika, dan gue dinyatakan diterima menjadi apoteker disana, dan besoknya gue sudah bisa bekerja disana. Gue bergegas mengabarkan hal ini kepada David.
"Vid, aku besok sudah mulai kerja."
"Bagus deh kalau gitu, kerjanya tiap hari?"
"Iya Vid, dari jam 8 sampai ja 5 sore aku harus stay di rumah sakit."
"Yaudah nggak papa, yang penting punya pengalaman kerja dulu Na."
David memang seperti itu, kadang gue merasa terlalu 'bocah' untuk jadi pendamping David yang luar biasa dewasa itu. Gue masih sering ngeluh, padahal umur gue sudah 22 tahun. Tapi, setidaknya, David sudah bisa membuat gue lebih baik, dia sering kasih petuah-petuahnya buat gue.
Keesokan harinya, jam 07;45 gue sudah berada di depan Rumah Sakit Medika. Gue mempercepat langkah dan langsung menempelkan ibu jari gue di tempat absen otomatis. Gue langsung menuju apotek yang berada tidak jauh dari pintu masuk rumah sakit.
Gue banyak belajar di sini, sebagai apoteker baru yang masih belum mengerti seluk beluk apotek di rumah sakit ini. Dulu, saat gue magang, gue diajarkan bagaimana menjadi apoteker di apotek, jadi sekarang, gue akan mempraktekkannya dengan baik.
Saat istirahat makan siang, gue berjalan menuju kantin rumah sakit sendirian, karena asisten apoteker gue yang bekerja tidak diperkenankan meninggalkan apotek dan mereka makan siang didalam ruangan itu.
"Boleh duduk disini?" tanya seseorang dengan jas putih itu.
"Oh boleh, silahkan."
"Saya dr. Dika," dia mengulurkan tangannya.
"Saya Nana," sahut gue dengan menyambut uluran tangannya.
"Apoteker barukan? Saya dokter jaga di UGD."
"Iya, baru hari ini."
Obrolan ringan pun terjadi antara gue dan dr. Dika, ternyata orangnya sangat supel dan ramah. Dan wajar saja kalau dia tau bahwa gue apoteker baru, karena ruang UGD berada tepat bersebelahan dengan apotek yang juga di bagian depan rumah sakit.
Disela-sela kegiatan makan siang itu, notif WA menginterupsi obrolan kami.
Arif: Ternyata kita bekerja di rumah sakit yang sama ya Na.
----
Nggak akan banyak ngomong, lagi sakit.
Btw, makasi sudah baca <:
KAMU SEDANG MEMBACA
B R O K E N
Teen FictionCinta, belum ada kalimat yang bisa menjelaskan kepada Nana apa definisinya. Setelah jatuh cinta diam-diam, dipatahkan hatinya secara terang-terangan, lalu mendapat cinta yang lain, kemudian dipatahkan lagi, barulah Nana sadari, bahwa cinta tidak pe...