23

129 10 0
                                    

Semenjak ungkapan dari Arif hari itu saat di kantin, gue dan Arif sama-sama canggung. Entah siapa yang lebih dulu menghindar, hingga satu minggu ini gue sama sekali tidak ada tegur sapa dengan Arif.

Benar tebakan Tasya saat gue bercerita tentang pengakuan Arif waktu itu. Gue dan Arif akan mengalami masa-masa canggung, mungkin sampai kami bedua bahagia dengan pasangan masing-masing.

Dua bulan kemudian, gue dan David sudah mantap menuju kejenjang berikutnya. Gue dan David sudah merencanakan pernikahan yang satu bulan lagi akan berlangsung.

Hari ini gue dan David menuju ke kantor wedding organizer untuk meeting yang kesekian kalinya sebagai persiapan pernikahan kami.

Drrrrrrt Drrrrrrt Drrrrrrt!

"Vid hp kamu nih, dari tadi ada yang telpon."

"Tolong angkatin dong, siapa tau penting."

Gue akhirnya mengambil hp David yang memang dia titipkan dalam tas gue. Betapa kagetnya gue melihat nama yang tertera dalam panggilan itu. Nadya.

"Nadya yang telpon."

"Hah? Yaudah angkat aja."

Gue pun mengangkat telpon dari Nadya itu.

"Hallo, David, gue bisa minta tolong anterin ke mini market? Mobil gue tiba-tiba mogok" ucap Nadya di seberang sana.

"Maaf ini Nana."

"Oh, Sorry Na, boleh gue ngomong sama David?"

Gue sejenak menatap David, namun kemudian telpon itu gue tutup.

"Kenapa?" tanya David.

"Nadya minta anterin ke mini market, mobilnya mogok."

"Yaudah kita putar balik dulu ya ke rumah Nadya."

"Kamu gila ya?!" ucap gue setengah berteriak.

"Nggak, kan dia minta tolong."

"Vid kita mau meeting sama WO buat pernikahan kita! Bukan mau jalan-jalan!"

"Tinggal telpon aja Wonya buat tunda meeting 1 jam, kan bisa."

David memutar balik mobil dengan cepat.

"Vid!"

BRAK!

Gelap! Dunia gue benar-benar gelap. Ada apa? Kenapa gue nggak bisa merasakan apapun? Mana David? Kemana orang-orang? Mamah!

Andai kalian tahu, terjebak disituasi ini nggak mudah. Gue nggak merasakan apapun, gue nggak mendengar apapun, gue merasa hilang.

Entah dengan kekuatan apa, gue mulai merasakan ada rasa dingin di kaki dan tangan gue. Aroma obat-obatan mulai menusuk indra penciuman gue. Gue berusaha membuka mata gue, tapi berat sekali. Gue coba lagi untuk membuka mata perlahan untuk kesekian kalinya, dan akhirnya cahaya lampu langsung menyilaukan pandangan gue.

Dimana ini? Gue perlahan menggerakkan leher yang terasa sangat kaku ini. Gue lihat sekeliling, 'Oh ini rumah sakit' ucap gue dalam hati.

Di sofa, gue lihat mamah dan papah lagi tidur. Dan entah kenapa air mata gue tiba-tiba aja mengalir deras.

Gue lihat, mamah mulai terbangun, mungkin karena mendengar isakan gue. Mamah berlarian ke arah gue, menggenggam tangan gue, erat sekali. Hangat.

"Sayang, kenapa nangis nak?" tanya mamah sambil mengusap puncak kepala gue.

Sudah lama rasanya, gue nggak pernah seperti ini sama mamah. Mata mamah berkaca-kaca.

"Mah, jangan nangis."

"Nggak sayang, mamah seneng kamu udah sadar. Tuhan akhirnya mengabulkan doa mamah sayang."

Gue nggak bisa menggambarkan raut wajah bahagia mamah, yang jelas gue bisa menangkap kilatan bahagia dari matanya.

"Mah, David mana?" seketika pertanyaan itu yang keluar dari mulut gue.

Seketika itu pula raut wajah mamah berubah. Ada pancaran kekecewaan saat gue tatap matanya.

"Mah?"

"Ah, iya kenapa sayang?"

"David mana mah?"

"Oh, David. Dia lagi istirahat sayang."

"Yaudah, mamah istirahat aja lagi."

Mamah kembali memejamkan matanya di atas sofa rumah sakit itu.

Gue berusaha untuk memejamkan mata kembali, tapi nggak bisa. Entah berapa lama sudah gue menghabiskan waktu untuk tidur. Badan gue terasa kaku.

Gue telentang menghadap langit-langit ruangan itu. Ingatan gue menjelajah ke beberapa kejadian terakhir sebelum akhirnya gue nggak merasakan apapun.

Teringat betapa kerasnya David yang ingin membantu Nadya, dan betapa kerasnya pula gue yang mencegah David untuk memutar balik arah mobilnya. Hingga akhirnya gue berteriak memanggil nama David diiringi dengan benturan keras yang gue rasakan.

Entah bagaimana lagi Tuhan menguji gue. Kecelakaan pertama bagi gue, dan kecelakaan kedua bagi David. Gue harap, semua akan baik-baik saja setelah ini, semoga ini kecelakaan terakhir gue sama David.

***

Keesokan harinya, sinar matahari yang masuk melalui celah gorden yang masih tertutup membangunkan gue. Entah kapan gue mulai tertidur tadi malam.

Dokter mulai memeriksa keadaan gue, beberapa alat yang ada ditubuh gue mulai dilepas oleh kedua perawat yang mendampingi dokter tersebut. Tersisalah satu infus yang masih menancap di tangan gue.

"Kalau keadaannya membaik dengan cepat dan tidak lemas lagi, besok saudari Nana sudah bisa kita terapi berjalan. Sebenarnya alat geraknya berfungsi normal, hanya saja pasti akan kaku karena sudah koma selama satu bulan," ucap dokter itu kepada papah.

Satu bulan? Selama itukah? Pantas saja leher gue terasa sangat kaku.

Gue hari itu kembali menanyakan keberadaan David, karena gue merasakan ada hal yang mengganjal. Mamah tetap pada pendiriannya, dia tetap bilang bahwa David sedang istirahat. Bukannya gue nggak percaya sama mamah, tapi hati gue merasakan hal yang aneh.

Gue bertanya-tanya, apakah David baik-baik aja? Apakah dia masih koma? Atau malah dia sudah sembuh?

Tunggu. Satu bulan gue koma? Berarti seharusnya gue sama David sudah menikah? Apa kabar dengan undangan yang sudah siap cetak? Apa kabar wedding organizer yang menangani pernikahan gue?

-----

Oke, sudah hampir ending. YES!

Tinggal 1-2 part lagi, yey!

Gue gantung dulu ah sampai sini, wkwk

B R O K E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang