Gue sontak teringat dengan obrolan dengan Arif minggu lalu, Nadya, mantan pacar David saat SMP. Gue langsung mengarahkan pandangan kepada Arif, Arif hanya menatap mata gue yang nggak bisa gue tebak artinya.
"Na, gue ada perlu sama lo," Ucap Arif yang langsung menarik tangan gue dan berjalan ke arah luar ruangan itu.
"Rif," langkah Arif terhenti. "Nadya itu-"
"Iya, Nadya, cewek yang dulu jadi rebutan gue sama David."
Mata gue memanas. Entah bagaimana seharusnya gue mnggambarkan perasaan hati gue.
"Ada tujuan apa dia kesini?"
"Hanya menjenguk David Na, nggak ada tujuan lain."
"Berapa lama sih mereka pacaran?"
"Sejak kelas 3 SMP sampai 3 SMA Na."
"Kenapa bisa putus?"
"Dari cerita Nadya, mereka putus karena Nadya nggak bisa LDR."
Nggak tau kenapa, hati gue terasa semakin sesak. Timbul pertanyaan di dalam hati gue, 'Bagaimana kalau Nadya masih sayang sama David?' Ah sudah lah, makin membuat sesak.
Entah apa yang mendorong gue untuk kembali masuk ke ruang perawatan David. Setelah membuka pintu, terlihat David sangat akrab dengan Nadya
"Na," ucap David saat menyadari kehadiran gue di dalam ruangan itu. "Kenalin ini Nadya-"
"Nadya, mantan David."
Duar!
'Mantan David.' Dua kata itu terus terngiang sampai akhirnya Nadya dan Arif berpamitan untuk pulang.
Malam harinya, setelah gue sampai di rumah, ada chat dari Arif.
Arif: Na, besok makan siang bareng gue ya, ada yang perlu gue omongin.
Gue: Ok.
Read.
Gue segera merebahkan diri di atas tempat tidur, menarik nafas panjang dan mengembuskannya dengan cepat. Mata gue lurus menatap ke arah langit-langit kamar yang berwarna putih polos itu. Masih terngiang kalimat dari Nadya, 'mantan David'. Entah kenapa dua kata itu terasa begitu mengusik, padahal sudah jelas, Nadya hanya mantan David, sedangkan gue sebentar lagi akan menikah dengan David. Apa itu masih kurang untuk meyakinkan hati gue?
***
"Lo baik-baik aja Na?" tanya Arif saat jam makan siang di rumah sakit.
"Gue selalu baik kok Rif."
"Lo nggak usah salah paham sama David dan Nadya. Mereka udah nggak ada apa-apa kok."
"Iya, gue ngerti."
Suasana hening sejenak.
"Na," ucap Arif membuka obrolan lagi.
"Iya Rif?"
"Ada yang harus gue ceritain, ini mengganggu gue banget Na."
"Yaudah cerita aja Rif."
"Gue suka sama lo na,"
Uhuk!
"Na, lo nggak papa?"
"Nggak, nggak papa Rif."
"Maaf Na, nggak seharusnya gue ngomong ini saat lo udah mantap mau nikah sama David. Tapi ini mengganggu gue na."
Suasanya kembali hening.
"Sejak kapan Rif?"
"Sejak kelas 10 Na, salah gue nggak berani ngomong sama lo dulu."
"Bukannya lo sama Adel?"
"Adel itu, pelampiasan gue, tapi gue juga nggak tau kenapa dulu bisa percaya banget sama Adel sampai lost contact sama kalian semua," sahut Arif. "Dan sampai sekarang, belum ada yang bisa mengganti posisi lo di hati gue Na."
"Rif," gue menarik nafas panjang. "Seperti yang lo tau, gue udah sama David, gue sama David juga udah ada tujuan menikah. Gue nggak tau harus menganggapi perasaan lo gimana. Yang jelas, gue yakin lo bisa move on Rif, banyak cewek di luar sana yang bisa bikin lo bahagia, banyak yang lebih baik dari gue Rif."
"Iya Na, gue ngerti. Yang lebih baik dari lo memang banyak Na, tapi nggak ada yang sama persis kaya lo. Gue juga nggak tau harus move on dari mana. Maaf Na."
Ternyata perasaan gue yang dulu berbalas, hanya saja kami masing-masing enggan memperjuangkan, enggan jujur, enggan bertahan.
"Gue duluan ya Rif," ucap gue, lalu berjalan meninggalkan kantin rumah sakit tersebut.
Gue menarik nafas panjang berkali-kali sepanjang jalan dari kantin menuju ruang apotek. Gue berkali-kali menenangkan pikiran yang sepertinya semakin rumit. Belum hilang diingatan tentang Nadya si mantan David, sekarang ditambah lagi dengan pernyataan Arif.
"Mbak Nana, mbak nggak papa?" tanya seorang asisten apoteker.
"Nggak papa kok."
Sepulangkerja, gue akhirnya memutuskan untuk menceritakan hal ini kepada ketiga sahabatgue, Rio, Tasya, dan Tisya. Gue menceritakan dari cerita tentang Nadya, hinggaArif lewat grup chat kami berempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
B R O K E N
Teen FictionCinta, belum ada kalimat yang bisa menjelaskan kepada Nana apa definisinya. Setelah jatuh cinta diam-diam, dipatahkan hatinya secara terang-terangan, lalu mendapat cinta yang lain, kemudian dipatahkan lagi, barulah Nana sadari, bahwa cinta tidak pe...