HOW I MET YOUR MOTHER

524 18 2
                                    



HIS AND HER CIRCUMSTANCES

By: Lolita

Starring: Rio Haryanto

Azalea Maya (Original Character)


CHAPTER 2. HOW I MET YOUR MOTHER

"Kapan kamu kembali ke Singapura?" tanyaku saat kami dalam perjalanan pulang dari kantorku, di dalam mobil Rio. Seperti janjinya, ia benar-benar kembali untuk menjemputku di jam pulang kantor. Dan melihatnya bersandar di mobil SUV putihnya, dengan kemeja lengan pendek hitam yang dikeluarkan, celana panjang coklat muda, dan kacamata hitam... rasanya aku jatuh cinta untuk kedua kalinya.

Bahkan tak bisa kuhitung dengan jari satu tangan berapa pegawai kantorku (terutama wanita) yang langsung berbisik-bisik, "Itu Rio Haryanto yang pembalap itu, kan? Pacarnya orang Kemenkeu??"

Dan pegawai pria yang mengenalku, mereka lebih frontal lagi. Langsung menghampiri kami, dan sapaan pertama yang mereka berikan adalah, "Mbak Maya pacarnya Mas Rio Haryanto??"

Duh.

Not that I dislike being an issue, though. Cuma perlu siap-siap saja besok akan banyak yang berseliweran di depan ruangan subditku sambil menunjuk-nunjuk.

"Bisa nggak sih di hari pertama kita ketemu lagi, kamu nggak langsung membahas LDR berikutnya?" protesnya, menatapku sejenak dengan kacamata hitamnya yang melorot. Aku tertawa kecil, buru-buru menoyor pipinya dengan jariku agar pandangannya kembali lurus ke depan. Ia ikut tertawa seraya membetulkan letak kacamatanya lagi.

"Nggak apa-apa sih." jawabku pelan kemudian, nyaris seperti bicara pada diriku sendiri. "Hanya mau coba menghitung berapa banyak waktu bahagia yang bisa kutabung sebelum kamu pergi lagi."

Ia segera menoleh padaku lagi, mengalihkan pandangannya dari setir secara singkat, "Why talk so sad?" katanya sambil menjulurkan tangan kirinya yang tidak dipakai menyetir untuk memberi hukuman cubitan yang lumayan pedas di pipiku. Hampir saja aku menggigit tangannya sebagai balas dendam, sebelum kuingat kalau tangan adalah asetnya yang utama dalam membalap. "Huh, begini nih memang kalau punya pacar. Banyak distraksinya. Kamu nggak akan habis pikir bagaimana aku harus ekstra fokus selama series kemarin."

Seperti melupakan edisi drama tadi sejenak, aku membalas pandangannya dengan cengiran jahil, "Tapi kamu jadi menang banyak kan di GP2 kemarin?"

"Memang karena kamu?"

"Memang siapa yang bilang karena aku?"

Kami tertawa lagi. Sepanjang sejarah hubungan kami yang baru menginjak setahun lebih, dengan waktu bertemunya yang bahkan belum sampai dua digit ini, memang nyaris tak ada alokasi waktu yang lama untuk bertengkar atau saling diam. Kami seakan sadar kalau itu hanya membuang waktu, di saat untuk bisa bertemu saja sudah susah. Kenapa harus disia-siakan dengan bertengkar? Karena itulah, biarpun tidak pernah dikompromikan secara lisan, kami berdua seperti sudah mufakat kalau sebisa mungkin, hanya boleh ada tawa di antara kami.

Dan seperti yang pernah kubilang, kami cocok karena selera humor kami yang sama. Tidak sulit untuk selalu tertawa selama kami bersama.

"Kapan aku kembali ke Singapura, ya..." setelah jeda saling canda antara kami mulai mereda, ia akhirnya tetap teringat untuk menjawab tanyaku dari awal perjalanan kami tadi. Bicara tentang Singapura, jika sedang tidak sibuk dengan kompetisi balap, Rio memang lebih banyak menghabiskan waktunya di negara tetangga itu. Di sana pula, ia kuliah dan belum lama lulus dari jurusan Business Management di FTMS Global Singapore University. Hebat, kan? Di sela-sela jadwal racing-nya yang ketat, ia tetap berusaha mengutamakan studinya. Sekali-sekali tetap curi-curi waktu untuk bertemu denganku, tentu saja. "Entahlah. Tergantung kapan perkara sponsorship ini selesai. Tapi kalaupun dalam minggu ini juga sudah selesai, aku tetap akan ke Singapura hari Senin, mungkin penerbangan subuh supaya tetap bisa mengejar training. I want to spend time with you to the fullest. Sampai malam hari Minggu, yang penting kamu masih punya cukup waktu istirahat sebelum Senin bekerja lagi. Nggak apa-apa, kan?"

Pelan-pelan menggeser dudukku sedikit supaya bisa TUK! meletakkan kepalaku di bahu kirinya, aku berkata manis, "Kamu pulang hari Minggu saja, the latest flight. Aku mau mengantarmu sampai ke bandara."

Menghela napas sebentar, tangan kirinya yang memegang tuas persneling segera kurasakan bergerak, mengganti gigi sebelum menginjak gas lebih dalam. "Kita nggak jadi makan di rumahmu, ya. Di luar saja. Begini caranya aku nggak bakal rela langsung memulangkanmu ke rumah."


_____________


Lalu, jika dia tinggal di Singapura, bagaimana aku bertemu dengannya dan kami berpacaran, kalian tanya? Baiklah, mungkin sekarang kita bisa mulai dengan kisah pertemuan kami. Biarpun benar, dengan dia yang sudah lama tinggal di Singapura sehubungan dengan studi dan training fisiknya, dan aku yang sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di luar Indonesia, bagaimana kami bertemu?

Well, mungkin bisa dibilang ibunya, Tante Indah Pennywati, memegang peranan besar. And this is how I met his mother...

Sudah sejak SMA aku suka mengajar. Sampai kuliah, passion itu tetap kusalurkan, bahkan saat itu dengan menjadi relawan dan membuka kelas bahasa Inggris—bahasa yang aku cukup PD menggunakannya—di sebuah panti asuhan di Jakarta. Bersama teman-teman satu komunitas relawan mengajar, kami juga sering mendapat panggilan maupun roadshow ke panti asuhan maupun sekolah-sekolah terpencil di luar Jakarta. Salah satunya adalah panti asuhan milik keluarga Haryanto di Solo, Jawa Tengah.

Waktu itu aku baru lulus kuliah, sekitar 1,5 tahun yang lalu. Sebagai person-in-charge dari komunitas kami, Tante Indah selaku pimpinan panti asuhan menghubungiku untuk mengundang kami mengajar di pantinya. Dan aku sungguh sama sekali tak tahu kalau Tante Indah adalah ibunda dari seorang Rio Haryanto (I barely even know him, hanya sebatas tahu kalau ia adalah atlet balap mobil. Yang cute). Singkat cerita, I think she fell in love with me *laugh*. Padahal aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan; mengajar dengan hati, memeluk satu per satu anak yang berhasil maupun tidak berhasil menjawab pertanyaanku, membawakan mereka hadiah boneka kecil yang kubuat sendiri...

"Jadi kamu masih belum mengerti?" Rio tiba-tiba muncul di pikiranku seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ah, aku ingat adegan ini. Di usia pacaran kami yang ke-4 bulan, pertemuan pertama kami lagi setelah terakhir bertemu saat jadian. Ketika aku tidak lagi lewat chat dan skype menanyakan alasan sang bunda bersikeras mengenalkan kami... "Mami jatuh cinta sama kamu setelah dia lihat kamu sendirian mengaji di mushola habis sholat Ashar. Di luar variabel kalau kamu juga cantik dan berwajah njawani, pintar mengajar, sayang anak-anak, dan sangat sopan, sih. Eh, kenapa aku jadi buka-buka kartu Mami, ya? Hahaha."

Saat itu, aku hanya langsung menunduk, tersipu malu tapi di dalam hati sangat berbunga-bunga. Ya, biarpun wajahnya seperti itu (maksudku ala-ala Tionghoa gitu—memang keturunan, sih), but he and his family are devoted Muslims. And that's what I love the most about him. Di kokpit mobil balap yang ia pakai bertanding pun, tepatnya di sebelah kursi setirnya, bahkan terpajang printout Ayat Kursi yang ia cetak sendiri dengan kertas HVS. Dia bilang itu membuatnya tenang menjalani olahraga berbahaya ini, dan ia jadi merasa terlindungi. Wow, isn't he?

Singkat cerita lagi, karena hal itulah Tante Indah yang memang memegang nomorku selaku PIC komunitas mengajar, kemudian mengirimkannya ke putra bungsunya, Rio, yang masih jomblo. Ada cerita lucu, sih. Tante Indah pernah bilang padaku kalau sebetulnya ia lebih ingin menjodohkanku dengan Mas Ryan Haryanto, kakak Rio, yang secara umur tentu lebih cocok denganku karena Mas Ryan lebih tua. Dia tak tahu kalau ternyata Mas Ryan sudah punya pacar, karena selaku manajer mereka berdua (Mas Ryan juga pembalap), Tante Indah sebetulnya melarang putra-putranya berpacaran tanpa seizinnya karena takut mengganggu konsentrasi mereka pada kompetisi. Tapi seperti yang kubilang, kurasa Tante Indah terlanjur jatuh cinta padaku, so...

"'So... she bent the rule, dan kamu yang selalu kepedean ini akhirnya betul-betul jadian denganku karena di luar dugaan, aku juga langsung jatuh cinta padamu.' Itu yang mau kamu katakan, kan?"

Aku menoleh, memicingkan mataku pada cowok dengan jaket baseball abu-abu yang kini sedang menyodorkan sebuah gelas kertas hot chocolate berlambang XXI, sebelum kami mulai nonton di Sabtu siang ini.

Ya, tiba-tiba 4 hari sudah berlalu saja setelah dia datang kembali di Rabu kemarin. Dan besok, hari terakhir... "You and you're mind reading habit." protesku seraya berdiri dan menerima minuman itu, biarpun dengan segera kembali tersenyum. Melingkarkan tanganku pada lengan kirinya, kamipun berjalan mesra menuju studio.

Oh, dan dia tidak benar-benar bisa membaca pikiran, kok. Itu biar sedikit dramatis saja.

HIS AND HER CIRCUMSTANCESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang