HIS AND HER CIRCUMSTANCES

225 12 2
                                    



HIS AND HER CIRCUMSTANCES

By: Lolita

Starring: Rio Haryanto

Azalea Maya (Original Character)


CHAPTER 5. HIS AND HER CIRCUMSTANCES

Seperti yang kukira, tidak akan ada lelaki yang mau menerima masa laluku.

"Eh, Mbak Maya... Baru balik, Mbak?"

Aku hanya tersenyum tipis menjawab tanya OB di Direktorat-ku itu. Kutengok jam tanganku, pemberian darinya. Jam 2. Lewat satu jam dari waktu istirahatku, pantas Mas Udin, nama OB itu, bertanya. Tidak biasanya memang anak yang masih terhitung baru sepertiku berani-beraninya main sampai jam segini, yang dalam seminggu ini bahkan sudah kulakukan dua kali. Hari ini, dan yang pertama adalah Rabu lalu saat Rio baru datang.

"Maya!" Kali ini Kepala Subdit (kalau di swasta Divisi)-ku yang menyapa riang begitu aku masuk ke ruangan. Aku kembali memaksakan senyum. Beliaulah sebabnya mengapa aku sebetulnya bisa saja santai kalau bekerja, karena beliau termasuk orang yang asik. "May, sini May." Ia keluar dari kubikelnya dan mendorong pundakku dari belakang, mengarahkannya agar aku menatap televisi yang diletakkan di atas kabinet dokumen kami.

Berita tentang Rio.

Ulasan eksklusif.

"Sejak pagi ini Rio Haryanto terlihat berada di Gedung Kemenpora menyusul keputusannya resmi bergabung di kompetisi F1 melalui jalur paydriver. Rencananya sore nanti ia akan kembali ke kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah setelah seminggu penuh berada di Jakarta—"

Jadi Rio... sebetulnya tidak pernah kembali ke Singapura? Itukah sebabnya ia ada di mal tadi?

Menemuiku... Kejutan?

"May, kamu betulan harus kenalin saya sama pacar kamu ya. Ajak masuk kesinilah kapan-kapan. Anak-anak cowok sudah ribut karena semua pernah lihat dia jemput kamu di parkiran, masa saya saja yang belum? Nanti mintakan tanda tangan buat saya ya—Lho, lho, May?? Kok kamu malah keluar??"

"Maaf Pak, saya pusing... Saya izin tidur di mushola, ya Pak."


To: My Rio

Are you going to Solo?


Sent.


Meringkuk di sudut mushola kecil di Direktoratku, aku hanya mampu makin memeluk kedua kakiku begitu selesai memencet tombol kirim. Kutumpukan dahi di atas kedua lututku yang menyatu, dan TES, TES! tanpa kusadari airmata mengalir begitu saja menyusuri tungkaiku, jatuh ke karpet hijau di bawah. Airmataku kurasakan menderas ketika aku tersadar kalau waktu sudah berlalu setengah jam namun masih belum ada jawaban, bukan hal biasanya dari Rio, kecuali ia sedang latihan fisik atau uji lap. Mungkin memang aku saja yang sedang kalut makanya setengah jam saja terasa begitu lama, namun memang biasanya sambil mengerjakan tugas kuliahnya pun, Rio akan selalu menyempatkan membalas... Terkadang kalau aku yang tiba-tiba ketiduran atau belum membaca pesannya saja, ia akan terus-menerus mengirim buzz atau bahkan mencoba meneleponku. He's that kind of guy.

Tapi kini... Kurasa aku betul-betul menyakitinya.


To: My Rio

I'm sorry. For my past.


RIO

Aku menatap pesan WhatsApp dari Maya dengan hati kalut, biarpun tetap berusaha fokus menyetir karena sedang membuntuti seseorang. Luka di telapak tangan bekas terkena pecahan kaca saat menghancurkan jendela mobil orang tadi hanya kuikat dengan sapu tangan yang memang selalu kubawa akibat tanganku yang mudah berkeringat, hal yang aku sama sekali tak menyangka akan berguna di saat-saat seperti ini.

"I will kill you... I will definitely kill you..." gumamku penuh amarah sambil terus mengarahkan pandangan pada mobil Fortuner berwarna putih dengan jendela pengemudi yang bolong tepat di depan mobilku sendiri. Tidak akan sulit bagiku untuk membuat sebuah tragedi yang lebih terlihat seperti sebuah 'kecelakaan mobil' hari ini. Pengalaman bertahun-tahun di sirkuit balap, juga kemampuan melihat serta menggunakan kelemahan dari mobil lawan sudah begitu kukuasai. Hal itu bahkan diajarkan di latihan dasarku.

Drrtttt. Drrttt.

Aku menoleh sejenak ke arah ponselku di jok sebelah, dan rasanya begitu ingin aku juga menghiraukan panggilan itu seperti aku menghiraukan semua pesan dari Maya. Tapi rasanya tak akan bisa. Beliau pasti sudah sejak tadi menunggu kabarku yang memang seharusnya pulang ke Solo hari ini. Mami calling.

"Ya, Mam?" sekuat tenaga mengatur suara agar terdengar biasa, aku memasang handsfree di telingaku.

"Pulang jam berapa, Nak? Kamu nggak ngelakuin suatu hal yang patut Mami khawatirin, kan?"

DEG! Aku segera terdiam, teringat rencanaku. Kenapa semua ibu itu seperti cenayang yang selalu tahu pikiran orang?

"Yo...? Nak? Bukannya Mami suudzhon, Mami cuma mau ingetin Rio kalau banyak orang yang berpartisipasi dalam debut F1 kamu ini, jadi jangan sampai kamu mengecewakan mereka, ya Nak?"

Perlahan mengeluarkan tawa palsu, aku menjawab, "Apaan sih, Mam..."

Di ujung telepon, ibuku ikut tertawa, "Hehehe, nggak tahu nih, Nak... Tiba-tiba Mami kayak pengen telepon Rio, takut Rio kenapa-kenapa... Mami aneh ya, Sayang?"

"Nggak kok, Mam." Aku segera menjawab. Seperti ditohok begitu keras, rasanya akhirnya aku sadar. Bukan Mami yang aneh, hanya mungkin, ini jawaban Tuhan atas rencanaku. Mungkin Tuhan masih ingin menjagaku. Or rather, ingin aku menjaga karirku.

Pasca mengakhiri telepon Mami, perlahan aku menepikan mobil di pinggir jalan raya. Aku ingin menenangkan diri. Dan... TES! Tanpa kusadari sebutir air menetes dari ujung mataku, memantul di setir mobil.

...yang entah kenapa, melihatnya seperti kembali mengingatkanku bahwa tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk ini semua. Histeris, yang akhirnya bisa kulakukan hanyalah tanpa henti memukul setirku keras-keras, "AAAAAAAAAAA...!!!!!!!!!!"

HIS AND HER CIRCUMSTANCESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang