SHE AND HER DECISION

175 11 0
                                    

HIS AND HER CIRCUMSTANCES

By: Lolita

Starring: Rio Haryanto

Azalea Maya (Original Character)


CHAPTER 15. SHE AND HER DECISION


"Let me tell you once and for all... Aku sama sekali bukan pelacur. Aku melakukannya hanya dengan Athan. Waktu kami masih pacaran."

Seperti yang bisa kuperkirakan, sekejap mendung seperti terlihat menaungi wajah Rio begitu mendengar pengakuanku. Kedua matanya yang kecil perlahan makin membulat seperti tak percaya, biarpun dengan segera, ia menggelengkan kepala seakan ingin menghapus semua hal yang mungkin berkecamuk dalam pikirannya, "Kamu tahu aku menghabiskan masa remaja di Singapura sehingga seharusnya, aktivitas pacaran seperti itu sudah nggak asing lagi, kan..." ujarnya seraya menatapku. "Tapi kenapa aku masih merasa seperti dikhianati? Perasaanku nggak lebih baik dari saat aku mengira kamu menjual dirimu."

Aku mengangkat bahu, menggeleng, "Aku sangat terbuka jika kamu ingin membicarakannya. Termasuk apa yang sesungguhnya terjadi di mal sebulan yang lalu."

Rio terdengar menggertakkan giginya seperti berpikir. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong depan jumper abu-abu yang ia kenakan di bawah jaket jeans-nya. "Apa kamu mau bicara di apartemenku?"

Tanpa tersadar, tiba-tiba aku sudah mengambil selangkah mundur sebelum menjawab panik, "Oh, oh, aku tahu sekali 'trik' seperti ini, lho."

Sedikit bingung di awal dengan reaksiku, Rio segera mencibir seraya mengulurkan tangannya untuk menyentil pedas dahi berponiku begitu paham: aku terlalu paranoid ia akan 'mengapa-apakanku', "Memangnya aku mantan pacarmu!"

"Hehe." cengirku malu, seraya mengusap-usap bekas sentilan Rio tadi yang sebetulnya sama sekali tak sakit. "Aku hanya... you know, sedikit trauma." kataku lirih sebelum kembali menutupinya dengan kalimat baru, "Oh ya, kesana mau pakai mobil Papa? Aku bilang Krysan sebentar sekalian ambil kunci mobil, ya. Masuk dulu, sini."


_________


"Kurasa ini pertama kalinya kamu ke apartemenku, kan?"

Aku mengangguk, seraya makin mengeratkan tautan jemari tanganku di sela-sela jemarinya. Menggunakan Avanza hitam papa yang baru aku dan kakakku belikan sekitar 5 bulan lalu (dengan patungan menyicil, tentu saja), kami memang sudah berada di apartemen Rio di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Apartemen yang dibelinya seiring meningkatnya intensitas kunjungannya ke Jakarta sejak GP2 untuk urusan dengan Kemenpora dan Pertamina selaku sponsornya. Dan kini kami duduk hanya bergenggaman tangan di sofa beludru hitam ruang tengahnya, mata kami menatap TV layar datar di hadapan yang bahkan sama sekali tak menyala. Aku telah menceritakan semua tentang masa-masa kelam di hidupku, tentang bekas profesiku, dan juga tentang Athan. Dan semakin jauh aku bercerita, semakin aku menggenggam tangannya erat, memeluk lengan terbukanya yang hanya mengenakan kaos lengan pendek, seakan tak akan ada lagi hari esok.

Karena sesungguhnya aku tahu apa yang akan aku lakukan setelah ini...

"Iya." jawabku akhirnya. "Dan sekarang kamu tahu kan kenapa aku selalu meminta kita bertemu di luar, di tempat umum...?"

"Karena kamu sudah kehilangan kepercayaan pada pria—termasuk aku?"

"Lebih tepatnya, aku nggak percaya dengan diriku sendiri." koreksiku, teringat berbagai kenangan pahit di masa lalu. "Jujur saja, wanita bukanlah makhluk yang se-inosen itu. Even now, I want you as much as you might want me. Sebisa mungkin aku nggak mau kita berduaan di tempat tertutup seperti ini, karena aku takut baik kamu maupun aku sama-sama nggak bisa menahan diri masing-masing... Di saat aku adalah orang yang paling tahu betapa aku akan menyesal setelahnya."

Rio menatapku getir, sebelum akhirnya memutuskan hanya mengecup dahiku sebelum mengarahkan kepalaku bersandar di bahu kirinya, "Aku mengerti. Dan sekarang aku juga mengerti kenapa awalnya aku merasa dikhianati setelah mengetahui rahasiamu: mungkin karena aku merasa ini nggak adil. Sebagai pria normal, aku menahan diriku mati-matian setiap kali berpacaran, tapi kamu, wanita yang kuharap jadi pelabuhan terakhirku, ternyata nggak melakukannya."

Aku sudah akan membuka mulutku untuk kembali meminta maaf, ketika Rio menggeleng seakan melarang, "Biarpun setelah mendengar ceritamu, aku sadar kalau pikiranku itu sungguh picik." lanjutnya, mengusahakan diri tersenyum padaku biarpun masih terasa pahit. "Kamu bahkan sampai menutup dirimu, menyembunyikan masa lalumu mati-matian karena kamu malu. Dan di dunia yang penuh kebebasan seperti sekarang, nggak banyak wanita yang masih punya rasa malu sebesar itu. Ya, kamu memang membuat kesalahan, tapi kamu berusaha sekuat tenaga untuk nggak mengulanginya lagi dan itu luar biasa."

Aku tersenyum tipis, "Terima kasih kalau kamu berpikir seperti itu. Tapi bagiku, aib tetaplah aib. It's an irreversible mistake, sesuatu yang nggak akan bisa kembali lagi seperti sedia kala sebagaimanapun aku berusaha memperbaikinya. Dan sekarang setelah aku menceritakan semuanya padamu, aku merasa bisa mengakhiri ini semua dengan hati yang 'plong'."

Mendengarnya, seketika Rio melepas genggamannya di jariku dan dengan cepat meraih kedua bahuku agar menghadapnya, menatapku nanar dengan pandang tak percaya.

Aku memaksakan diri menatapnya balik, biarpun harus menggigit bibirku karena menahan perasaan yang siap tertumpah. Perlahan aku mengangguk seraya mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahnya yang tegas, untuk terakhir kalinya, "Mari kita akhiri saja semua ini, Yo."




Author's note:

5 more chapters to go...!! :D

HIS AND HER CIRCUMSTANCESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang