SI KAPTEN BASKET

261 12 4
                                    



HIS AND HER CIRCUMSTANCES

By: Lolita

Starring: Rio Haryanto

Azalea Maya (Original Character)


CHAPTER 7. SI KAPTEN BASKET

Athan? Untuk apa dia menghubungiku lagi? Bukankah kita sudah sepakat untuk putus kontak sejak aku mulai berhubungan dengan Rio?

"Halo...?"

"Kamu putus dengan si Rio Haryanto?"

Pertanyaannya yang begitu to-the-point sekejap membuatku kehilangan kata. Biarpun hanya sebentar, karena dengan segera aku memutuskan mengumpulkan kembali kesadaranku yang sempat terserak, "Aku nggak mengira kamu menelponku hanya demi menanyakan hal yang nggak penting. Bye."

"Kalau begitu, sekarang bilang kalau kalian memang nggak putus." tuntutnya, bahkan sebelum aku sempat mematikan sambungan telepon kami.

Skakmat. Aku mematung seperti orang yang habis melihat rambut ular Medusa, sama sekali tak mampu menjawab. Dia...

"You can't... right?"

Ah, aku sungguh lupa betapa kami sangat saling mengerti satu sama lain. Dan kurasa, instingnya padaku itu pun masih belum tumpul.

"Aku dan Rio belum—maksudku 'nggak'—putus," tak bisa mengelak darinya, aku akhirnya menjawab. "...but yes, we have problem."


_______


Riputra Athan Wicaksani, 27 tahun, adalah kakak kelasku saat masih SMA. Ialah pria yang sebelumnya selalu hanya kukenalkan kepada kalian sebagai 'si kapten basket', pacar pertamaku, setidaknya sampai sekurangnya 3 tahun yang lalu. Orang yang juga telah menorehkan catatan kelam dalam perjalanan hidupku... biarpun harus kuakui itu bukan sepenuhnya salahnya.

Suka sama suka. Selama perjalanan cinta kami yang cukup panjang, seingatku tak pernah ada masalah yang begitu berarti, setidaknya hanya di antara kami berdua. Kami begitu saling mencintai, selain sebagai kekasih, Athan yang begitu dewasa sudah seperti seorang kakak laki-laki yang tak pernah kumiliki. Kami juga adalah sahabat terdekat masing-masing, tempat bertukar seluruh cerita, tawa, dan keluh kesah yang kami punya. Athan dengan keluarganya yang broken home, dan aku tetap dengan permasalahan ekonomi keluargaku yang terasa semakin mencekik, terutama setelah mama tiada.

Sayangnya, tidak ada masalah dari kami berdua bukan berarti hubungan kami lancar-lancar saja. Karena permasalahan yang sesungguhnya akhirnya muncul ketika kami mulai serius dengan hubungan ini. Kenyataan kalau Athan kurang sukses dalam studinya dan hingga kini belum memiliki pekerjaan tetap, sangat ditentang oleh ayahku. Hal yang aku mengerti karena bagaimanapun, seorang ayah tentu menginginkan yang terbaik untuk putrinya dalam bentuk pria mapan yang mampu menafkahi, apalagi kondisi ekonomi keluarga kami juga tidak begitu baik. Ditambah kenyataan kalau Athan bukan berasal dari keluarga yang harmonis... Tidak membantu bahwa sesungguhnya keluarga besarnya adalah keturunan priyayi yang masih ada hubungan saudara dengan Kesultanan Yogyakarta. Itu cuma silsilah, selalu kata ayahku.

Dan begitu saja, hubungan kami berakhir. Karena perkara ekonomi. Dengan aku yang tetap tak sampai hati mengatakan pada papa sejauh mana hubunganku dan Athan telah terjadi. Kenyataan kalau sesungguhnya, putrinya sudah kehilangan keperawanannya oleh pria yang begitu ia tentang.

Cerita selanjutnya tentu kalian sudah tahu. Aku yang kemudian menutup hatiku karena merasa tidak berhak dicintai lagi, dan memilih menyibukkan diri dengan kegiatan volunteer dan kemudian skripsi. Sampai ketika Rio datang.

"Jadi kalian putus persis di minggu sebelum debut tes F1 si Rio itu?" Anyways, aku tak tahu apa ini memang sentimennya saja, tapi Athan memang selalu menyebut Rio dengan 'Si Rio itu' atau 'Si Rio Haryanto'. Sepertinya di luar kedewasaannya, boys will always be boys, dengan pride yang tidak ingin mengakui lawannya.

"Tapi tunggu deh, aku masih belum mengerti, kenapa tahu-tahu dia mutusin kontak begitu saja?" Disini, Athan terdiam sebentar, seperti ragu-ragu mengungkapkan pemikirannya. "Jangan-jangan... bukan karena kamu sudah cerita 'tentang kita', kan?"

Aku terdiam. Saat bercerita tadi, aku memang tidak menceritakan titik awal 'mengambangnya' hubunganku dan Rio saat ini, yaitu perkara Rio yang salah paham dengan profesi lamaku sebagai teman main om-om. Seperti yang sebelumnya sempat kuceritakan juga, Athan sendiri sama sekali tak tahu dengan profesi lamaku itu, jadi bagaimana mungkin aku bisa menceritakannya sekarang?

Menangkap tidak ada juga respon dariku, Athan seperti segera menarik kesimpulan seraya menghela napas panjang, "Aku kan sudah bilang, sebelum dia serius padamu, jangan dulu cerita tentang kita... Nggak semua pria bisa menerima kenyataan kalau pacarnya ternyata... a 'has been'," katanya, sedikit pelan di tiga kata terakhir, seperti takut menyinggung perasaanku. Aku menggigit bibir. "...he's old-fashioned, isn't he?"

Just like you, jawabku cepat... biarpun hanya mampu dalam hati. He's mature and old-fashioned, just like you. Semakin lama aku berhubungan dengan Rio, memang semakin aku sadar kalau ternyata aku memiliki tipe dalam memilih pria. Secara sifat, Rio adalah carbon copy seorang Athan. Dewasa, nggak neko-neko­, dan klasik. Humoris tapi protektif, cool biarpun terkadang sedikit emosional. Kurasa itulah sebabnya dengan cepat Rio mampu meluluhkan hatiku... karena aku seperti melihat Athan dalam dirinya.

Biarpun tentu saja kalau sekarang disuruh memilih, aku tetap akan memilih Rio. Selain karena variabel-calon-suami yang diinginkan ayahku (baca: pekerjaan tetap) dimilikinya, alasan utamaku sesungguhnya adalah sisi Rio yang begitu religius, poin plus darinya dibandingkan dengan Athan. It's a bit weird karena secara fisik, Athan yang bertampang Arab dan bertubuh tinggi lebih cocok untuk itu daripada Rio yang berwajah oriental dan lebih mirip seperti seorang mualaf. Tapi itulah kenyataannya. Dan yang membuatku begitu nyaman adalah aku merasakan kalau Rio akan mampu membimbingku sebagai seorang imam yang baik nantinya.

"Yes, he is." jawabku akhirnya. "Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu tiba-tiba bisa menebak kalau sedang ada sesuatu antara aku dan Rio? Jangan coba-coba menjawab dengan 'Instingku padamu masih begitu kuat' atau 'Aku yang paling tahu dirimu lebih dari siapapun', oke?" ancamku, tahu betul jawaban apa yang akan diberikan Athan si humoris untuk pertanyaan serius seperti ini.

Mantan kekasihku itu tertawa di ujung lain telepon, "Tapi betul kan? Aku bahkan masih lebih tahu tentang dirimu dibanding si pembalap itu, kan?" candanya... sebelum ia buru-buru berhenti. Sepertinya 'aura ngeri' dariku yang mulai memuncak sampai juga ke tempatnya menelepon, membuatnya bergidik. "Oke, oke. Frankly speaking, your BF's been a flop, lately. Admit that. Performanya payah semua. Apalagi alasannya selain karena ia punya masalah? Dan satu-satunya sumber masalah yang bisa menimpa seorang pria-nyaris-dewasa sepertinya adalah perkara pacar. Kamu, bukan?"

Aku menghela napas. Sejak kapan dia begitu pintar menganalisa bak Detective Conan seperti ini?

"But good, then. Karena aku sudah mengkonfirmasi status hubunganmu dengan si Rio itu, let's get straight to the point." Tiba-tiba Athan mengubah nadanya menjadi serius, yang membuatku mengernyitkan kening. Apa maksudnya? "Jadi, May, sebetulnya alasanku meneleponmu adalah aku ingin mengabarkan sesuatu. I just got a job. Not only 'A' job, but 'A GREAT' job. May, kakekku yang belum lama ini meninggal ternyata mewariskan sebuah perusahaannya di Yogyakarta padaku!"

DEG! Entah kenapa, perasaanku tiba-tiba berubah aneh... Seperti akan terjadi sesuatu yang rumit menghadangku di depan.

"...Kamu tahu kakekku memang paling menyayangiku, kan? Tentu saja aku akan mulai dari staf dulu untuk banyak belajar, tapi karena sesungguhnya aku sudah di-set menjadi Direktur, gajiku tentunya akan langsung sesuai gaji Direktur bahkan sejak aku menginjakkan kaki di kantor itu! Dengan ini, aku sudah memenuhi kriteria mapan dari papamu, kan? So... can I make you mine again?"

HIS AND HER CIRCUMSTANCESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang