Anggaplah bonus insome, lamgsung updet 2 part ya. kkkkk... Happy reading.
***
Awalnya, aku milih untuk menikah dengan orang yang mencintaiku dan tentunya aku cinta. Namun seiring bertambahnya usia, aku tersadar, persentase pernikahan seperti itu jauh lebih minim di banding dengan kemungkinan turunnya salju di negeri Arab.
Jadi aku memundurkan impian itu secara perlahan.
Bukan bermaksud meniadakannya, hanya saja dengan umur yang semakin bertambah serta pemahaman yang bertambah pula, aku mulai mencoret beberapa bagian dari impian itu. Mengulasnya kembali sampai kemudian aku sampai di satu titik kesimpulan.
Ya, pada kesempatan itu aku telah memutuskan, untuk mencintai orang yang menikahiku. Karena pada dasarnya pernikahan adalah bentuk lain dari perwujudan sebuah tanggung jawab. Dunia baru yang akan kita mulai bersama pasangan.
Karena katanya semua yang indah selalu terletak di akhir cerita.
Dan ketika pilihanku untuk mencoba mencintai—dia yang menikahiku telah kuat sepenuhnya. Aku tersadar, bahwa kisah kami pun tak akan sesederhana dia menikahiku dan aku menjadi istrinya. Tentu saja, tidaklah seperti itu.
Kerumitan bukan sebuah kesulitan, namun terlebih mengarah pada sebuah tuntutan. Tuntutan untuk segera mengurai simpul sulit yang mencekik kehidupan. Dan aku memilih menyambut uluran tangan pria yang kini menjadi suamiku. Berpegangan erat kepadanya dan meyakini bahwa ia yang akan menyelamatkanku dari jalur menyesatkan ini.
Jadi teman, mana yang akan kamu pilih?
Menikahi orang yang kamu cinta atau mencintai orang yang menikahimu?
***
Aku menutup mata ketika palu hakim di ketukkan. Menangis tak berguna, ketika ia yang bertanggung jawab harus di bawa para penengak hukum berseragam. Dengan kedua tangan diborgol, aku tahu ia tak mungkin bisa diselamatkan. Suasana ruang sidang mendadak terisi oleh jerit tangis ketidak relaan keluarga. Namun tak sedikit pula yang bertepuk tangan sambil mengucap syukur pada Tuhan atas sebuah keadilan yang tercipta di dunia fana ini.
Segalanya selesai.
Dan aku tahu sekarang aku pun telah usai.
Beranjak dari kursi, aku bergegas meninggalkan kesesakkan disana. Membutuhkan udara yang tak hanya segar, sungguh aku butuh ruang yang lebih lebar untuk mengurut segalanya.
Dia yang di penjara adalah salah satu petinggi perusahaan di tempatku bekerja. Seorang anak dari pemilik perusahaan yang memang memiliki tabiat yang sebenarnya tak bisa di katakan baik namun bagiku pribadi, sikap dan sifatnya masih dapat ku tolerir. Dan kali ini ia di tangkap karena kasus kecelakaan yang menewaskan korban yang ditabrak oleh sedan mewah yang ia kemudikan.
Miris untuknya, miris juga untukku.
Aku menutup mata demi merasakan semilir angin yang membelai wajah. Tanganku bergerak kedepan. Memfungsikannya untuk berada di atas perutku yang rata kemudian dengan kesadaran penuh, ibu jariku bergerak lalu bergetar ketika aku membelai permukaannya.
“Hai,” aku menyapa, namun bukan pada angin maupun iklim. Telapak tanganku memutar, senyum miris aku persembahkan untuk Sang Pemilik nyawa. “Apa yang harus ku lakukan?” tanyaku pelan.
Memutuskan membuka mata, ku telusuri jalanan demi mencapai bangku taman yang terbuat dari besi dengan warna cat yang masih tampak baru. Menghirup udara sebelum duduk, aku meletakkan tas tangan yang ku bawa kesamping kiri. Menyandarkan punggung sepenuhnya disana, aku meluruskan kakiku hanya untuk memijat letih yang kini sering kudapati ketika mulai menyadari keberadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Perfect Tears
Lãng mạnNessa mengandung bayi Fabian. Namun semesta mengharuskannya menerima lamaran Dylan, saudara kembar Fabian. Nessa pikir, perihnya hanya sampai di situ. Namun Tuhan, tidak berkata demikian. Sebab alih-alih bahagia dengan pernikahannya, Nessa harus me...