***
Pertemuan dengan Dylan nyatanya tak jua bisa membuatku tenang. Langsung berhadapan dengan pria itu, sesungguhnya tak lebih baik untuk gelisah yang menyeruak di dada. Setengah mati aku menahan nafas ketika ia sampai di depan mata, kemudian terengah melihatnya melenggang pergi tanpa beban setelah melempar petir di siang bolong padaku.
Hah...
Mereka memang sama saja.
Memandang jauh langit lepas dari jendela kamarku yang sengaja ku buka. Aku menatap lama gumpalan awan menghitam di langit kelam. Bertanya dalam hati, pada menit keberapakah nanti rintikkannya akan membasahi bumi. Terpekur sendiri, ku sadari hujan mulai berjatuhan. Mengirim hawa menenangkan yang bernama dingin.
Menaikkan selimut dan menatanya di atas perut, aku tak kuasa untuk tak membelainya. "Hai," aku mulai menyapa. Senyum tersumir tipis di bibirku untuk nasib yang akan menimpanya kelak. "Apakah kamu baik-baik saja?" Aku belum pernah membawanya ke dokter sejak seminggu lalu aku mengetahui keberadaannya. "Aku belum tahu susu apa yang tepat untukmu." Ujarku jujur.
Setiap anak yang hadir telah membawa takdir dan bahagianya sendiri. Dan sayangnya, bayi di dalam perutku ini, memiliki takdir untuk terikat denganku, juga bahagia yang sepertinya akan ia gantungkan hanya padaku.
"Apa saat ini kamu masih bersama Tuhan?" Belaianku memutarinya. "Apa yang sedang kalian bicarakan?" Aku gila dan tengah sibuk meracau. Namun aku tak peduli, sebesar apapun aku mengelak. Kelak pertumbuhannya di rahimku akan terlihat juga. Jadi tak salah bukan jika kini aku mencoba menerimanya? "Apa ada namaku dalam obrolan kalian?"
Aku tertawa sendiri mendengar pertanyaan bodoh itu. Tapi entahlah, rasanya aku memang butuh teman mengobrol sekarang. Berhubung kakak laki-lakiku tak mungkin ku ajak berbincang, mengingat malam ini ia sedang piket malam. Ia adalah seorang dokter, walau kini masih dalam tahap magang di rumah sakit.
"Katakan pada Tuhan, jangan menertawakanku, oke?" Lihatlah betapa tak warasnya aku sekarang. "Yakinkan saja pada Tuhan, bahwa kelak aku cukup baik untuk di panggil ibu."
Malu saat mendengar ocehanku sendiri, aku mengulum senyum ragu. Masih terus membelai perutku yang tersembunyi di bawah baju dan selimut, aku tengah membayangkan akan seperti apa ketika perut ini mengembang nanti.
"Entahlah, terkadang aku takut memikirkan keberadaanmu. Tapi tak jarang aku berharap melihatmu tumbuh di rahimku." Benar, aku masih kesulitan mengontrol emosi saat menyadari kini tengah berbadan dua. Tetapi di lain sisi ingin sekali aku melihat ia menunjukkan keberadaannya. "Kamu akan seperti siapa ya nanti? Akan mirip Ayah atau Ibu?"
Lucu rasanya membayangkan segumpal darah di dalam sini akan membentuk wujud manusia kecil di masa depan. Memikirkan ia akan berupa persis dengan siapa tiba-tiba saja menyengat hatiku. Mungkin jika ia mirip denganku, itu tak akan menjadi masalah. Tetapi bagaimana jika kelak ia mirip dengan Ayahnya?
Oh ayahnya...
Benar. Bagaimana jika ia mengambil lebih banyak gen Smith dalam tubuhnya? Bisakah aku menjelaskan bahwa ia mirip Ayahnya? Dan jika ia bertanya mengenai Ayahnya, bagaimana aku harus menjawab?
Tapi tunggu...
Aku menyegah pikiranku untuk melantur kemana-mana, saat teringat apa yang di katakan Dylan padaku.
'Menikahlah denganku. Dan jadilah tanggung jawabku.'
Hah...
Tidak!!
Otakku bersuara keras. Mengingatkan diriku, bahwa pria itu tak boleh terlibat.
Tidak, Nessa!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Perfect Tears
RomanceNessa mengandung bayi Fabian. Namun semesta mengharuskannya menerima lamaran Dylan, saudara kembar Fabian. Nessa pikir, perihnya hanya sampai di situ. Namun Tuhan, tidak berkata demikian. Sebab alih-alih bahagia dengan pernikahannya, Nessa harus me...
