"Stop, anak-anak."
Samuel maju melerai walau pertikaian masih tersamarkan di antara kedua anaknya. Sebagai orang tua, ia jelas paham selalu saja ada yang terasa janggal di antara interaksi kedua anaknya ini. Matanya yang tajam membidik kedua buah hatinya dengan penuh selidik. Menyebarkan aura intimidasi kejam walau tak sekejam milik saudaranya yang lain.
"Duduk kalian berdua, kita perlu makan." Titah Samuel dingin. "Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kalian berdua. Tapi aku harus mengatakan inginku pada kalian." Ia menyorot lagi kembar serupa yang lahir dari rahim istrinya setelah tiga tahun meninggalnya anak pertama mereka. "Duduk di kursi kalian masing-masing dan habiskan makan siang yang sudah di masak ibu kalian."
Bahkan Fabian pun tak berani membantah jika Ayahnya sudah berada di mode-Smith sekali ini. Mau cari mati apa dia? Ck, dia bahkan tak ada apa-apanya jika sudah melihat sang sulung Smith itu terbakar emosi.
Memilih menelan rasa penasarannya bulat-bulat. Fabian menggeser kasar kursi yang tadi sempat ia tinggalkan. Mendudukan tubuhnya serampangan, Fabian berusaha menekan kedongkolannya. Paling tidak sampai nanti, sampai ia punya waktu sendiri dengan kembarannya.
"Dan Dylan..." Nada itu masih terdengar perhitungan. "Apalagi yang kamu tunggu?" Alis lebat Samuel menukik tajam. "Cepat langkahkan kakimu dan balik piring di mejamu. Sebelum aku kesana dan membalikan segalanya."
Oke, kalau sudah begitu lebih baik cepat mengambil langkah seribu daripada mendengar Ayahnya mengamuk bak singa jantan menandai daerahnya.
Dan di tengah drama keluarga menegangkan tersebut, Nessa merasa dirinya hanya seorang penonton idiot yang sama sekali tak mengerti jalan ceritanya. Entah karena sudah terlalu jauh ketinggalan episodenya atau karena ia yang tak memahami alur yang tulis sang skenario.
Sumpah mati, Nessa tak tahu. Ia tak paham. Serius, ia tak mengerti. Ada apakah disini? Kenapa gerangan yang terjadi di keluarga ini?
Dan berbagai pertanyaan lain, yang berkecambuk apik di benaknya. Tanpa seorang pun yang dapat ia tanya. Sebab, ia asing disini. Entah sampai kapan, tapi Nessa berfirasat akan sangat lama.
Sementara ia memperhatikan Dylan dan Fabian yang sangat menurut dengan apa yang di katakan sang Ayah. Nessa bisa melihat bagaimana Arwen sama sekali tak terganggu dengan amarah Pak Samuel tersebut. Pasalnya, masih dengan posisi santai, gadis cantik itu memakan jeruknya. Dan melihat apa yang terjadi tadi seperti hal biasa yang sudah sering terjadi. Entahlah, Nessa sudah tak sanggup berprasangka lagi. Menebak kehidupan orang-orang elit di sekitarnya ini, sungguh membuatnya pening.
"Nessa, ayo duduk."
Teguran Risa, membawa Nessa kembali pada realita sesungguhnya. Mengenai dia, yang kini juga mulai di persilahkan masuk dalam keluarga ini. Walau saat ini posisinya masih berada di depan pintu, Nessa hanya setengah menimbang, mampukah ia masuk jauh ke dalam dan menyelami segalanya?
Bahkan sisi terkuat dalam dirinya saja mengakui hal itu akan sangat berat.
"Duduklah, Papa hanya marah pada kami. Dan bukan padamu. Jangan takut."
Seketika saja Nessa terkesiap. Jantungnya berdentam kencang, saat merasakan sentuhan tangan Dylan di lengannya. Ia belum sepenuhnya sadar, bahwa Dylan membimbingnya ke meja makan dan menarik kursi untuknya.
Well, Nessa belum terbiasa seperti ini.
Dalam artian, bahwa biasanya otaknya selalu memproyeksikan seorang Dylan dengan sikap kaku. Jadi masih terlalu bermasalah bagi hatinya, ketika sekali lagi di beri kesempatan mengetahui sisi gentle seorang Dylan Alkantara.
![](https://img.wattpad.com/cover/64442332-288-k586996.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Perfect Tears
RomanceNessa mengandung bayi Fabian. Namun semesta mengharuskannya menerima lamaran Dylan, saudara kembar Fabian. Nessa pikir, perihnya hanya sampai di situ. Namun Tuhan, tidak berkata demikian. Sebab alih-alih bahagia dengan pernikahannya, Nessa harus me...