***
Ketika yang di nanti tak kunjung memberi pasti. Ketika yang di rindu seperti tak mau tau. Saat itulah saat terbaik bagi kita untuk melepas harap hanya pada Ilahi. Percaya sepenuh hati pada segala sekenario-Nya. Karena yang tak di sangka-sangka pasti akan segera tiba.
Aku telah mendengar kisahnya. Juga sudah mengetahui mengenai desas-desusnya. Dan haruskah sekarang aku turut meyakininya?
“Sudah dengar ceritanya’kan?”
Setiap karyawan tak puas jika tak membicarakannya satu hari pun. Seakan mereka yang paling mengetahui. Pendongeng paling pas untuk para karyawan baru atau para staff magang. Para karyawan senior, begitu mahir mengisahkannya. Seolah mereka turut menyaksikan kejadiannya, hingga kesaksian mereka patut di perdengarkan.
“Cerita apa? Mengenai mitos kutukan itu’kan?”
Suara sumbang mulai terdengar. Dan puncaknya adalah jam istirahat seperti saat ini. Mereka akan menggunjing tak tahu malu. Akan membongkar aib seperti mereka tak pernah berbuat dosa. Namun yang paling membuatku jengkel adalah mereka tak paham bahwa yang tengah mereka bincangkan keburukannya, merupakan pemilik dari sumber rezeki mereka.
Jelas, mereka adalah manusia-manusia tak tahu adat yang mempunya muka lebih dari dua.
Cih!
Aku sudah muak mendengar kisah ini.
Namun aku tetap tak bisa menutup telinga dan menyuruh mereka diam begitu saja. Sebab seberisik apapun mereka saat ini, hak mengeluarkan pendapat dalam masrayakat bukan lagi sesuatu yang illegal. Justru sekarang Undang-undang mengenai kebebasan berpendapat telah mendapat hak sepenuhnya dari badan resmi Negara.
Jadi aku bisa apa, selain memupuk sabar demi tercipta suasana nyaman dan damai.
Hah, nyaman dan damai apanya?! Cibirku sendiri.
“Iya, mungkin karena mitos itu juga ya yang membuat para pewaris perusahaan ini enggan membina rumah tangga.”
Selalu begitu.
Sudah lebih dari tiga kali aku memutar mata.
“Sepertinya begitu. Buktinya saja, sampai saat ini Bu Evelyn belum menikah. Padahal usianya nyaris tiga puluh’kan?”
Aku meringis mendengarnya. Membayangkan entah apa yang akan terjadi pada mereka yang tengah sibuk bergosip—jika kata-kata yang mereka ucapkan tadi terdengar ketelinga penguasa gedung ini. Aku bergidik membayangkan. Cepat-cepat ku habiskan makan siangku ini, demi menghindari telinga bersihku yang akan berdosa karena ulah mereka.
“Nah benar, Pak Fabian juga’kan?”
Tubuhku tersentak kala nama itu mengudara. Remasan kuat di jantungku memecut nyeri lama yang tak pernah ku izinkan sembuh sebelum pria yang mereka sebut tadi mengecupnya.
Hah, mungkin aku terlalu mengada akan hal tersebut. Tetapi tolong maklumi aku, sebab sesungguhnya aku hanya wanita biasa yang masih sering berkutat dengan perandaian untuk menciptakan kesan hidup yang lebih baik untuk hari-hariku yang buruk belakangan ini.
“Dan katanya, hal itulah yang membuat Pak Fabian tidak mau berkomitmen. Itulah mengapa ia terlihat mudah sekali berganti-ganti pasangan.”
Obrolan mereka sudah kelewatan. Tak tau apa, bahwa setiap cibiran yang terlontar dari mulut mereka, tetap memberikan bekas ngilu untuk hatiku yang rapuh karena pria tersebut.
“Ngomong-ngomong soal Pak Fabian ya, kalian pernah nggak ketemu Pak Dylan?”
“Pak Dylan? Saudara kembar Pak Fabian?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Perfect Tears
RomansaNessa mengandung bayi Fabian. Namun semesta mengharuskannya menerima lamaran Dylan, saudara kembar Fabian. Nessa pikir, perihnya hanya sampai di situ. Namun Tuhan, tidak berkata demikian. Sebab alih-alih bahagia dengan pernikahannya, Nessa harus me...
