Part 4 : Segelintir Kenalan

21.3K 2.3K 91
                                    

Hidup ini mudah, menjalaninya pun juga. Karena yang tersulit dari ujian dunia adalah memahaminya.

Dan bagiku, ujian kelulusan akan ku hadapi sebentar lagi. Ya, bersamanya.

Bersama dirinya yang begitu senang memeluk kebisuan.

Dia...

....Dylan.

Berada dalam satu ruang yang sama dengan Dylan saja sudah membuatku kehilangan kemampuan untuk sekedar menarik nafas. Nah apalagi sekarang, berada di dalam mobil berdua saja dengannya setelah kami selesai mengunjungi dokter kandungan, guna memeriksa kondisiku juga keadaan janin yang meringkuk di perutku.

Seperti yang ku katakan di awal, Dylan adalah simbol kesunyian. Jika di sandingkan dengan malam, maka Dylan merupakan sepertiga dari bagian malam itu yang selalu identik dengan sepi juga ketenangan, tetapi lebih mencekam.

Ia tak mengatakan apapun setelah bersalaman dengan dokter tadi. Hanya mengangguk dan sesekali menimpali penjelasan dokter terkait kandunganku. Selebihnya, ia adalah pengamat. 

"Kita ke supermarket dulu."

Sesaat keheningan terburai kaku berkat suaranya. Aku yang sedari tadi hanya fokus pada pemandangan di sebelah jendela, bergerak ragu untuk menoleh hendak meresponnya.

Matanya melirikku sekilas, setelahnya kembali fokus pada jalanan.

"Kamu butuh susu formula untuk wanita hamil, bukan? Jadi kita perlu ke minimarket  untuk membelinya."

Nadanya tak ramah, malah terkesan jengkel. Tetapi aku merasa ada kepedulian disana. Perhatiannya untuk bayiku. Refleks, ku elus lembut permukaan perutku dan hal itu tak luput dari ekor matanya. Yang entah bagaimana sontak membuat wajahku bersemu. Malu, juga salah tingkah terhadap atensi yang ia berikan.

"Ba-baik, Pak." Gugupku kala menjawab. Dan langsung memalingkan wajah kearah lain demi menepis panas yang merambat di wajah ini.

Sial, kenapa aku bertingkah layaknya remaja seperti ini sih?

Demi Tuhan, tolong bantu aku menata keberanian.

"Berhenti menggunakan panggilan membosankan itu, Nes."

Aku kembali menoleh. Dan kali ini Dylan membalas tatapanku.

"Pak? Please, aku bukan atasanmu. Dan satu hal lagi yang paling penting, kita akan segera menikah. "

Sedetik, aku hanya melongo memandangnya. Kemudian buru-buru tersadar bahwa ia sedang menanti persetujuanku.

"Ba-baiklah." Aku mendesah tertahan, kembali meliriknya dan berdehem untuk mengatasi kecanggungan. "Bagaimana kalau Mas?" Kepalanya bergerak kearahku secepat aku mengedipkan mata. Berusaha keluar dari bayang-bayang intimidasinya, aku berdehem sekali lagi untuk mengurai maksud. "Aku rasa, kamu lebih tua dariku. D-dan jika kita memang me-menikah nanti, sangat tidak pantas aku hanya menyebut namamu saja. Ja-jadi-"

"Aku mengerti." Potongnya cepat. Aku melihat lampu merah ketika Dylan kembali memandangku.

Menelan ludah, gugup. Aku memberanikan diri membalas tatapannya. "Ja-jadi, Mas Dylan?"

Bagai sebuah keajaiban, aku mendapati lengkungan tipis di sudut bibirnya. Sangat tipis, kecil dan nyaris tak bergelombang. Namun bagi mataku yang tajam, aku cukup bersyukur bisa melihat perbedaannya.

Angin segar seolah menamparku secara serampangan. Lega dari debar jantung, kembali menggila menuntut peledakkan. Tapi sialan, aku tak bisa meledak tanpa harus kehilangan nyawa. 

Dylan tersenyum.

Ya Tuhan... Pria itu tersenyum?

Terperangah cukup lama, aku kembali merutuk saat menyadari Dylan mengetahui keterpanaanku barusan. Dan pria itu dengan sadis, menghapus senyum tipisnya, kembali berganti dengan wajah dingin seperti biasa.

Not Perfect TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang