Jatuh cinta itu mudah, namun bangun dari keterpurukkan cinta itulah yang paling sulit.
Dan sesaat setelah aku menelaah kata tersebut, aku mengerjap sadar akan sebuah rasa yang sepertinya sudah salah ku mengerti.
Cinta.
Aku tak pernah merasakan hal itu sebelumnya. Sebab yang ku yakini, terakhir kali kata itu menyinggahiku saat aku duduk di bangku kuliah.
Benar, aku pernah jatuh cinta satu kali. Dan itu dengan mantan kekasihku di kampus.
Pria yang bukan Fabian.
Deg.
Bukan Fabian.
Ya, aku tak pernah mencintai Fabian. Walau fakta aku tengah mengandung bayinya.
Mungkin rasa menggebu yang dulu sempat ku rasakan adalah kekagumanku pada sosoknya. Atau bisa jadi hanya obsesiku sebagai wanita yang ingin memiliki kekasih tampan seperti dirinya.
Cinta itu ternyata tak pernah ada untuknya. Sebab setelah ia berlalu meninggalkanku dan pergi mencari wanita lain dengan mudahnya, aku tak pernah sekalipun mengeluarkan air mata yang beratas nama dirinya. Tidak pernah sama sekali, sebelum aku akhirnya menyadari ada bagian dari dalam dirinya yang tertinggal.
Menyusup kedalam rahim, meringkuk beralas nadi dan darahku, calon manusia kecil ini kemudian akan berkembang menjadi replika darinya, atau bisa jadi bayangan dari diriku.
Bayi kecilku...
Drrrtt... Drrrtt...
Ku raih ponsel yang senyap sedari tadi. Dan segera membuka pesan masuknya.
Dylan Alkantara.
Aku ada di depan rumahmu. Keluarlah. Aku di dalam mobil.
Lupa bahwa sosok pria itu pasti cepat atau lambat akan kembali menemuiku pasca kaburnya diriku di pusat perbelanjaan tadi siang.
Tetapi kenapa baru sekarang? Setelah delapan jam berlalu.
Ya, dia memang menyuruhku menunggu, tetapi juga tak memberi spesifikasi dimana seharusnya aku menunggu. Di tambah dengan labilnya jiwaku tadi, aku bisa apa selain melangkahkan kaki lebar-lebar dari sana dengan membawa serta emosi, dan sisi melankolis yang menyatu di jiwa.
Ck, aku benci mengatakan ini. Tapi aku tak mau memperburuk keadaan dengan Dylan menendang pintu rumahku karena tak sabar dan membuat keributan lain yang otomatis akan di ladeni kakakku dengan segera.
Jadi, setelah bergegas meraih kardian biru yang cukup hangat. Aku melangkah keluar dengan tergesa. Setidaknya kami memang perlu bicara. Dan aku juga ingin mendengar mengapa pria itu sama sekali tak menghubungiku sedari siang.
"Mau kemana, Nes?"
Tersentak, aku menoleh dan melihat Amar tengah termenung menatap laptopnya.
"Keluar sebentar ya, Bang. Di halaman aja kok, sekalian nunggu tukang bakso lewat." Dustaku hanya untuk memperpendek sesi tanya jawab dengannya.
Sesaat Amar melepaskan fokusnya demi menatapku. Lalu cengiran khas Abangku itu meyakinkan diriku bahwa Amar tak mempermasalahkan hal itu.
"Abang pesankan seporsi ya kalau memang lewat."
Kelegaan membanjiri perasaanku lebih awal. Mengangguk bersama senyuman, aku pura-pura mencibirnya. "Iya deh yang mau gratisan."
Dan aku meninggalkan dirinya yang sibuk terkekeh di dalam sana. Bersiap di peluk angin malam, ku rapatkan kardigan dan melangkah cepat, menuju mobil hitam yang mulai ku kenali sebagai kepunyaan Dylan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Perfect Tears
RomansNessa mengandung bayi Fabian. Namun semesta mengharuskannya menerima lamaran Dylan, saudara kembar Fabian. Nessa pikir, perihnya hanya sampai di situ. Namun Tuhan, tidak berkata demikian. Sebab alih-alih bahagia dengan pernikahannya, Nessa harus me...
