Aku lagi gak pinter berkata-kata ini. wkwkkk... Hhappy reading yaa...
***
Semilir angin senja menerbangkan rambutnya, kala ia berdiri saat kuas orange tengah melukis bumi. Siluet gelap telah sampai di ujung samudera bersiap cepat menutup jagad.
Disana Evelyn berdiri dengan mata penuh air mata yang tak ingin ia jatuhkan. Menahannya setengah mati sampai rasanya benar-benar ingin mati. Menatap lama pusara dari saudara yang memiliki komponen darah yang cukup mirip dengannya. Evelyn diam saja saat kemudian dingin mulai menerpa.
"Tante," bisiknya bahkan tak lebih kencang dari desah angin. Ia mulai menggigit bibirnya, saat isakan hendak menerobos lolos. "Rasanya sakit ya?" Entah pada siapa ia berbicara.
Memejamkan mata ketika perih tak lagi sanggup ia tahan. Membiarkan begitu saja buliran bening mengaliri sudutnya.
"Hah..." Tak sanggup menahan tangis. Evelyn roboh di atas tanah yang di tumbuhi rumput hijau tersebut. Menyembunyikan wajahnya di kedua telapak tangan. Evelyn yang tegar, nyatanya tak lebih dari seorang wanita rapuh yang juga butuh sandaran. "Bagaimana mungkin kalian memiliki hati yang begitu luas, Tante." Terseduh di atas tanah. Evelyn menggunakan lututnya untuk bersimpuh di atas tanah makam itu.
Bunga lily yang tadi ia bawah telah tergeletak. Sementara tubuhnya masih saja tak bisa berhenti bergetar.
Lusi Aluna Smith, berbaring di bawah tanah tempatnya bersimpuh. Tak tampak oleh mata, sebab itu di letakkan nissan di atasnya.
"Ajari aku bagaimana cara mencintai seseorang seperti kalian." Evelyn membuka matanya. Menjauhkan tangan dari wajah dan segera meraih kembali bunga yang tadi ia jatuhkan. "Kenapa mengikhlaskan harus sesakit ini." Bisiknya sebelum bangkit dan kembali memakai topeng baik-baik saja andalannya.
Kemudian Eve menoleh kebelakang, tempat dimana sepasang mata cokelat gelap yang sedari tadi mengintainya.
Membalas tatapan lelaki yang bersembunyi di balik siluet gelap, Evelyn menyorotnya lama. Ingin mengetahui tatapan macam apa yang tersemat untuknya. Dan rupanya masih sirat yang serupa. Masih sama seperti yang selalu ia dapatkan.
Terguguh oleh nasib cintanya. Evelyn menyentuh dadanya yang terasa nyeri. Jika dalamnya dada bisa terlihat seperti anggota tubuh yang lain ketika terluka, maka sudah pasti, Eve bisa melihat darah pekat yang membanjiri sang rongga. Ia berdarah dan terluka. Terkoyak dan tak tau bagaimana cara untuk menutupnya.
Suatu saat luka itu memang akan sembuh, atau akan kebas sendiri karena terbiasa akan rasa sakitnya.
"Apa seperti ini rasanya, Tante?" Sebulir lagi matanya mengeluarkan air. "Sesakit inikah pengorbanan yang kalian lakukan untuk kami? Untuk Ayah dan Ibuku?"
Tertohok oleh air matanya sendiri, Eve tak mampu melanjutkan kata-katanya lagi. Diam menyimak segala sakitnya, Eve akhirnya berjalan untuk meletakkan bunga Lily tersebut ketempat seharusnya.
"Jangan katakan pada Papa kalau aku menangis disini, oke?" Menyentuh nisan sesuai kebiasaan. Eve menjalankan ibu jarinya di sepanjang permukaan. "Terima kasih atas pengorbanan kalian. Terima kasih untuk cinta luar biasa kalian. Aku mencintaimu Tante. Dan sejujurnya aku tak pernah bisa benar-benar mengerti kisah yang kalian torehkan."
Sepasang tangan kekar memeluk bahunya dari arah belakang. Membuat tangisan Eve kembali menyeruak saat tanpa sadar tangannya meremas lengan berbalut jas biru tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Perfect Tears
RomansaNessa mengandung bayi Fabian. Namun semesta mengharuskannya menerima lamaran Dylan, saudara kembar Fabian. Nessa pikir, perihnya hanya sampai di situ. Namun Tuhan, tidak berkata demikian. Sebab alih-alih bahagia dengan pernikahannya, Nessa harus me...
