Part 12 : Menanti takdir

17.6K 1.7K 191
                                        

Dylan meminta Nessa untuk kembali ke kamar selepas Ayah dan adiknya kembali ke rumah bersama Arwen yang memang di minta datang hari ini.

Mereka sudah berada di ruang tamu, berkumpul dengan segelas minuman di masing-masing hadapannya.

"Apa yang terjadi, Pa?" Dylan menuntut cepat. "Kenapa tidak pernah mengatakan kalau ternyata Fab menginginkan hal ini?"

"Papa juga baru tau, Lan." Samuel menghela napas. "Bagas nelpon Papa pagi tadi. Ternyata semalam waktu dia mengunjungi Fab. Dan Fabian sendiri yang menginginkan bebas dari sana."

Dylan tak puas dengan penjelasan itu. "Lalu apa dia tau soal persyaratan yang Papa berikan?" Tanya Dylan tak sabar. Ia perlu mengambil ancang-ancang sekarang. Ia hafal betul tabiat saudara yang berbagi rahim dengannya itu.

Samuel mengangguk. "Dia rela melalui serangkaian terapi demi kebebasan ini."

Sial!

Perasaannya semakin tak karuan.

Entah kenapa Dylan tak bisa mengerti perasaannya. Seharusnya ia bisa senang seperti ibunya dan juga Rivan. Atau menghembuskan napas lega seperti Ayahnya, karena pada akhirnya, sang anak bebal kembali ke rumah. Sumpah, Dylan tak bisa mengerti dengan dirinya sendiri.

Karena entah bagaimana, jantungnya seolah sudah meneriaki kewaspadaan.

Ia tahu akan ada hal besar yang terjadi. Tetapi ia tak akan pernah menyangkah akan secepat ini.

Sial! Ia harus menghubungi Evelyn.

Tetapi ...

"Aku akan hidup dengan bahagia, Eve. Maka dari itu, kamu pun harus demikian. Mulai saat ini dan untuk masa depan, biarkan masing-masing dari kita menyelesaikan masalah kita sendiri."

Dylan bisa mendengar suarannya sendiri. Ia yang mengucapkan hal itu dengan kesadaran penuh. Sumpah, Dylan mengatakan itu hanya agar Evelyn tak terlalu mengkhatirkannya. Dylan mau Evelyn hanya fokus mengatasi hidupnya tanpa repot-repot mengurusi dirinya lagi.

Tetapi sekarang ...

Ia masih membutuhkan Eve.

Evelyn, Evelyn, Evelyn.

Dylan pernah mengatakan sebelumnya, bahwa ia bisa menutupi segala hal dari orang tuanya. Tapi seperti Tuhan yang tahu segalanya, Dylan pun selalu memberitahu Evelyn semua masalahnya.

"Papa udah minta Dylan pulang ke rumah 'kan nggak ke apartmen?" Risa menanyakan hal yang sedari tadi mengganggunya.Takut-takut, bahwa Fabiannya yang keras kepala akan kembali memilih Apartment daripada pulang ke rumah.

"Iya lho Ma, Fabian bakal pulang ke rumah." Rivan yang menyahut, saat di lihatnya sang Ayah masih menyesap teh.

Sekali lagi, getaran tak nyaman itu berdesir di dada Dylan. Dan Dylan tak pernah mengerti itu untuk apa.

Fabian adalah adiknya.

Dan satunya hal yang membuatnya bahagia adalah kembalinya Fabian di antara mereka.

Dylan bahkan ingat, hal itulah yang ia upayakan selama ini.

"Bukan apa-apa, Van. Kalau Mas-mu milih tinggal sendiri lagi, gimana kita mau ngawasin dia, coba?"

Itu memang benar. Kalau Fabian lebih memilih tinggal sendiri, apalah guna terapi alkohol yang akan ia lakukan dengan Arwen?

Tetapi kalau berada satu rumah dengan Fabian ...

Dylan mengusir bayangan yang tak mengenakan tersebut dari kepalanya.

"Ngomong-ngomong Tan, hari ini Papa juga niat mau kunjungi Fab bareng teman dokternya yang kata Papa dulu juga mantan pecandu Alkohol. Ya buat perbandingan aja, sejauh mana ketergantungan Fabian gitu."

Not Perfect TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang