Part 9 : Selangkah Lagi

18.3K 1.9K 116
                                    

***

Paginya aku masih tak kunjung  mendapati e-mail kapan aku boleh kembali bekerja. Sejujurnya berada di rumah seharian penuh selama nyaris seminggu benar-benar membuatku jengah. Ingin beraktivitas seperti biasa, tapi aku tau Eve pasti akan mengusirku ketika ia melihatku berada di kantor sebelum ia sendiri yang memanggilku.

Tapi pertanyaannya, kapan ia memanggilku kembali ke kantor?

Mendesah kasar di atas ranjang, aku menjatuhkan kepala di bantal.

"Nes," tanpa perlu repot mengetuk, Amar menerobos kamarku tanpa rasa bersalah. "Perasaan bolos kerja udah sampe seminggu ye? Pecat baru nyaho ente."

Aku hanya bisa memutar mata. Awalnya enggan menanggapi, namun teringat akan perkataan Dylan malam kemarin, membuatku beringsut bangkit dan bergerak mendekati kakakku yang duduk di ujung ranjang.

"Bang," kataku ketika telah memposisikan tubuh tepat di sebelahnya.

"Kenapa? Memang udah di pecat ya ente sama Eve? Kerja nggak bener sih." Omelnya yang kemudian fokus pada ponsel.

"Sembarangan." Dengusku menyenggol bahunya. "Gini-gini kesayangan Evelyn gue." Sombongku dengan nada angkuh.

"Halaah, kesayangan kok di rumah aja kerjanya? Kesayangan yang di rumah'kan gitu?" Cibiran Amar membuatku kesal.

Setelah mendengus dan memukul-mukul lengannya, malah dengan manja aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Menikmati waktu-waktu bersama sebelum Dan kemari dan membuat suasana tak mungkin seperti ini lagi.

Ah, mereka hanya tinggal berdua saja.

Dan bagaimanapun juga, Nessa sangat dekat dengan kakaknya.

"Bang," kembali panggilannya mengulang. Dan kali ini Amar hanya bergumam menanggapinya. Aku hanya tersenyum sambil memejamkan mata. "Hari ini libur kan ya?" Amar mengangguk sebagai jawaban. "Nanti malam rencana mau kemana, Bang?"

"Nonton DVD ajalah, lagi males kemana-mana." Jawab Amar asal. "Kenapa? Mau ngajak kemana emank?"

Tertawa kecil, aku menggeleng perlahan. "Nanti malam ada yang mau datang, Bang."

Amar masih terlihat santai. "Siapa?"

Berharap bahwa Amar mengingat Dylan, aku berusaha jujur mengatakannya. "Dylan mau kemari, Bang."

Dan ucapanku itu sukses menarik seluruh perhatiannya.

"Dylan yang kemaren?" Aku mengangguk di bahunya. "Lha mau ngapain? Kamu beneran di pecat ya sama Eve? Jadi sekarang mau kerja bareng Dylan gitu?"

Mencebik antara gemas dan lucu, aku mencubit lengan Amar kuat-kuat. Tak peduli pada ringisannya. "Nggak percaya banget sih Bang kalau adeknya ini karyawan teladan. Kesayangan Bu Eve gini, ya mana mungkinlah di pecat." Sunggutku sambil menjauhkan kepala dari bahu Amar.

"Lha jadi, apa namanya Dek? Seminggu di rumah, nggak ada angin nggak ada ujan. Di tanyain cuti bilangnya nggak, di tanyain kenapa malah kamu bilang emank di suruh libur. Di kata tu perusahaan punya nenek moyang kita apa? Ngawur aja kamu."

Bimbang mengatakannya, aku menarik napas panjang. Menimbang lagi, harus bagaimana aku menyampaikan kebenaran keadaanku sekarang ini?

Ya Tuhan, walau bagaimanapun aku yakin Amar pasti akan shock berat jika justru ia mengetahui perihal kehamilanku nanti. Melalui mulut Dylan pula. Ck, Amar pasti merasa tak di hargai.

"Bukan gitu lho, Bang." Aduh, kenapa susah sekali sih meminta otak agar mampu merangkai kalimat yang tepat.

"Jadi apa?"

Not Perfect TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang