"Ian ...!! Kamu apa-apain sih?!"
Fabian tak menghiraukan. Sebab fokusnya kini hanya terpaku pada satu jelita saja. Sosok wanita yang beberapa bulan yang lalu pernah menjadi penghangat ranjangnya.
Sial!
Ya, Fabian sudah seharusnya mencurigai hal itu.
"Katakan rencanamu, Nessa." Fabian berbisik sadis. Matanya menancap tajam. Seakan pecahan belati bersarang di kedua cakrawalanya. "Aku sudah memberimu waktu untuk menjawab. Dan sekarang kamu berada di tenggat waktunya." Kemudian ia mendelik. Tak melepas cengkraman pada bahu kurus wanita itu.
Nessa gelagapan menerima sikap Fabian yang menyeramkan seperti ini. Darahnya berlari meninggalkan tubuhnya seketika. Seperti pencuri yang ketahuan mengambil barang majikan, Nessa mengkerut dan tak bisa melakukan apapun selain ketakutan.
"Jawab aku, Nessa." Fabian semakin menekan. "Apa yang kamu rencanakan, heum?" Tak ada seringai, karena semenjak tadi Fabian sudah mematokan wajah bengis untuk di nikmati wanita di depannya ini. "Aku mengenal saudaraku lebih dari siapa pun dan enyahkan pikiran kalau kali ini kamu bisa mengecohku."
Gemetar, Nessa tak bisa bernapas dengan baik. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi ia yakin yang terjadi sebelumnya adalah hal buruk. Mencicit pun percuma, sebab Nessa yakin Fabian akan terus memburunya. "M-mas ... I-ini ..."
"Jangan buka mulut kotormu jika kamu masih terus berdusta." Nessa kontan terdiam, sementara bibir bawahnya bergetar dan susah untuk di benarkan. Dan Fabian tak peduli, ia sedang kalap. Marah karena satu hal yang ia tahu telah di sembunyikan darinya. Ia melirik ke bekalang, tempat ibu dan bibinya sedang menyaksikan dirinya dengan mata memancarkan ketakutan dan juga kebingungan. "Ayo ikut aku!"
Fabian menarik tangan Nessa kasar. Menyentak wanita itu ke arahnya, lagi-lagi Fabian tak menghiraukan pekikan dari para wanita yang berada di ruangan ini.
"Mas," Nessa mencicit ragu. Ketakutan jelas membayang di peluknya. "Mas," ia berusaha melonggarkan cengkraman, tapi percuma karena yang di dapatinya justru cengkraman yang semakin mengerat.
"Ian, Nessa nya mau di bawa ke mana?" Risa berserta adik iparnya berusaha membuntuti dari belakang. "Jangan di tarik-tarik gitu Nessa, bahaya jalan cepet-cepet buat bayinya."
Dan Fabian justru semakin menyeretnya. Rahangnya semakin mengeras seiring dengan semakin dekatnya ia dengan pintu.
"Ian, mau ke mana itu? Nessa mau periksa."
Emosi beriak mengantarkan gelombang-gelombang pasang di kepalanya. Napasnya memburu siap meledak. Tetapi Fabian tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat. Keberadaan ibu dan bibinya jelas merupakan penghalang.
Ada sesuatu yang tengah di mainkan di sini. Fabian bisa merasakannya. Ada hal-hal yang tengah diolah, dan Fabian bisa tahu hal itulah yang membuat ibunya menerima keberadaan Nessa dengan sangat baik.
Dylan jelas memiliki peranan, tetapi Nessa pasti tahu alur dari drama yang mereka mainkan. Siapa sutradaranya, Fabian akan menguliknya nanti. Kemudian ia akan mengajukan tuntutan pada sang penulis skenario. Bisa-bisanya pembuat lakon tersebut tak memberinya naskah untuk dibaca dan pelajari. Membuatnya tak hanya terlihat bodoh, namun juga kasihan karena porsi perannya tidak cukup besar.
Ia berhenti tepat di ambang pintu, menghembuskan napas putus-putus, Fabian menarik Nessa ke belakang tubuhnya. Ia harus menghadapi dua wanita paruh baya ini terlebih dahulu.
"Mama," Fabian menanti ke datangan kedua wanita itu dengan cengkraman tangan yang tak mengendur pada Nessa. "Tante Alif," pelan-pelan ia mengatur napas. Agar sang emosi yang semenjak tadi mengguncang jiwanya bisa mereda paling tidak sekitar dua menit saja. Ia butuh mengutarakan maksudnya dengan normal. "Fabian yang akan mengantar Nessa ke dokternya." Fabian perlu membuat alasan. "Jadi Mama sama Tante bisa ke airport jemput Al."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Perfect Tears
عاطفيةNessa mengandung bayi Fabian. Namun semesta mengharuskannya menerima lamaran Dylan, saudara kembar Fabian. Nessa pikir, perihnya hanya sampai di situ. Namun Tuhan, tidak berkata demikian. Sebab alih-alih bahagia dengan pernikahannya, Nessa harus me...
