Part 11 : Pelan-pelan menata

18.6K 1.7K 176
                                        

Jika keceriaan adalah milik siang, maka rembulan muram merupakan tempatnya malam.

Tempat berlabuhnya asa dan juga ketabahan, malam seakan sempurna sebagai tempat berkeluh kesah.

"Kita tak bisa melanjutkan semua ini?"

Evelyn berbalik menatap jendela. Menatap lama langit menghitam di angkasa. Merasakan dingin dari gemeresak angin yang menyebarkan sejuta resah. Sama seperti dirinya yang tengah di liputi gundah gulana.

"Bukankah sudah sejak lama kita tau bahwa semua ini memang tak layak walau hanya untuk sekedar di jalani?"

Lontaran pertanyaan lain mengalir di belakang. Embusan hawa panas yang keluar dari pernapasan sang adam membawa jelita malam kembali meraih fokusnya untuk sejenak menatap pria itu.

"Dan kita berhasil menjalaninya selama ini. Lalu apa yang bisa kita harapkan?" Evelyn menyampirkan rambut ikalnya kesamping. Menutup irisnya yang cokelat sembari berusaha menarik napas panjang. "Apa yang kita harap dari semua ini? Tragedi yang serupa dengan puluhan tahun yang lalu?"

Tawa mirisnya menghantui ruang. Menyisahkan tak hanya sekelumit luka, namun juga kehampaan pada kenyataannya.

"Katakan padaku, cinta seperti apa yang tertoreh di atas kubangan duka dan jerit tangis keluarga?" Tuntutnya masih dengan ekspresi penuh sesal. "Cukup mereka yang membuat kesalahan dan tolong jangan kita juga. Sebab aku yakin, ibuku akan mati sebelum darahku sempat terhenti."

Dalam kegelapan, siluet Dylan bergerak. Tangannya terulur kedepan demi mendekap sang pujaan. Memerangkapnya dalam pelukan hangat namun menyakitkan. Mereka tahu semuanya adalah kesalahan, paham benar bahwa segala yang mereka lakukan akan menuai konsekuensi jika benar di teruskan.

Sepi menetapkan langkah menemani keduanya. Membawa mereka terhanyut dengan lambungan perenungan yang lama.

"Kita akhiri saja," suara merdu milik Eve mengalun. "Bukan untuk membuang perasaan ini. Namun untuk menepikannya dan berharap akan segera meredup." Bisiknya berlanjut dengan ketetapan.

"Benarkah ini batas lelahmu?" Kemaskulinan dari suara Dylan menghentak kesadaran.

"Demi menghindari air mata. Agar tak ada lagi luka. bersama mari mengakhirinya."Evelyn menyentuh wajah Dylan dengan sebelah tangan gemetar, meneguk liur yang terasa bara, ia membawa sebelah tangannya lagi untuk menghapus kerut di kening pria itu. "Harus benar-benar mengakhirinya Dylan. Kali ini tolong untuk benar-benar berakhir." Lirihnya di antara kesenduan yang tercipta.

Mata yang biasa menyorot tajam meredup seketika. Hanya pada wanita inilah ia bisa menunjukkan sisi lemah. Tuan putrinya yang berharga, saudaranya yang paling ia cinta. "Aku hanya pengawal, kamu tuan Putrinya, dan kerajaan ini adalah milik kita." Ia kecup sebelah tangan yang melintasi bibirnya. "Kita akhiri semua ini, Eve." Balasnya dengan kegamangan yang serupa.

Pintu terjeblak terbuka dengan hentak tak sabar dari sepasang tumit sepatu tersebut. Menyembunyikan rupa dari siluet yang beranjak semakin mendekati mereka.

"Aku muak melihat hal menjijikkan ini terus menerus!" Sentak kasar membuat Evelyn dan Dylan tak perlu lagi kaget pada kemunculannya. "Bertahun-tahun aku melihat ini! Dan aku muak!" Pria yang serupa dengan Dylan muncul. Napas memburu dan mata menyala membuat pria tersebut terliat buas. "Hentikan semua kegilaan ini Eve! Tolonglah Dylan, jangan buat papa dan mama menderita hanya karena memikirkan perasaan konyol kalian. Papa dan uncle Ken hanya tinggal berdua sebagai saudara. Jangan gara-gara kalian, hubungan keluarga ini berantakan! "

Fabian berkacak pinggang. Kemeja cokelatnya sudah kusut, kemudian lengan kemejanya juga telah tergulung sampai sebatas siku. Ia marah, ia ingin mencabik-cabik orang sekarang. Dan kebetulan sekali, manusia yang ingin ia hancurkan benar-benar berada di tempat ini.

Not Perfect TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang