Part 17

1.2K 74 1
                                    

Shani terbangun karena hujan deras mengetuk-ngetuk jendela kamarnya. Saat ini memang sedang masa peralihan musim, dari musim dingin ke musim semi. Shani memicingkan mata ke arah jam dinding.

Jam enam pagi? Shani terbelalak. Ia merasa sudah tidur sangat lama. Kok baru jam enam?

Shani berusaha menutup matanya kembali, namun deruan angin di luar kaca jendela seakan ingin menghalangi kantuknya. Padahal udara terasa dingin, cocok untuk bersembunyi di balik selimut dan tidur.

Akhirnya Shani bangkit dari kasurnya. Ia menyalakan lampu utama dan mulai menata kamarnya. Shani memang terbiasa hidup mandiri, bahkan saat sang ibunda masih ada. Pembantu rumah tangga hanya ia minta mengganti sprei dua minggu sekali dan mengepel seminggu sekali.

Apalagi sejak sang Mama meninggal, pembantu rumah tangga mereka diminta untuk berhenti bekerja oleh Nat setelah Mario kabur. Nat merasa tidak sanggup membayar pembantu itu, meskipun si pembantu, yang biasa mereka panggil Bu Fia, rela bekerja tanpa dibayar.

Bu Fia sudah menjadi pembantu di rumah Mario sejak Mario dan Thalia menikah. Bu Fia mengenal Mario sejak kecil, karena dulu mereka bertetangga, saat Mario masih tinggal di Jogja, kota kelahirannya. Jadi Bu Fia sangat dekat dengan keluarga Mario. Bu Fia tidak merasa sebagai seorang pembantu, sebab Tuan dan Nyonya-nya memperlakukannya dengan sangat baik, seperti keluarga sendiri. Begitu juga keempat putri mereka.

Saat Nat bilang terpaksa memecatnya dengan alasan tidak sanggup membayar Bu Fia, Bu Fia menjawab bahwa ia rela bekerja tanpa dibayar, sebab keluarga Nat juga sudah bagian dari keluarganya. Awalnya Nat tidak bisa menolak, tapi tak lama Bu Fia harus kembali ke Jogja karena harus mengurus cucunya yang ditinggal pergi sang Ibu merantau. Akhirnya dengan terpaksa Bu Fia keluar dari rumah Nat.

Shani menarik nafas panjang. Mereka belum bilang Bu Fia bahwa mereka sekarang berada di Jepang. Bagaimana kalau Bu Fia datang ke Jakarta dan mendapati rumah dalam keadaan kosong bahkan sudah berpindah tangan?

Shani menarik nafas lagi. Ia juga tidak mengatakan tentang kepergiannya ke Jepang pada Elaine dan Manda, dua sahabatnya. Kepergiannya yang terlalu mendadak membuatnya tak sempat memberi kabar pada mereka.

Shani menatap jam lagi. Pukul setengah tujuh. Di Jakarta masih jam setengah lima. Manda dan Elaine pasti masih terlelap. Mungkin nanti mereka akan bertanya-tanya kenapa Shani tidak masuk.

Bingung mau melakukan apa, akhirnya Shani mandi. Setelah mandi, Shani kembali duduk terpekur di atas kasur. Tidak ada suara ataupun tanda-tanda bahwa Gracia telah bangun di kamar sebelah.

Lalu, Shani teringat. Ia belum menyalakan handphonenya sejak tiba di Jepang kemarin. Ia juga mengingatkan dirinya sendiri untuk segera membeli kartu baru. Kartu dari Indonesia pasti tak bisa dipakai di Jepang bukan?

Namun, secara mengejutkan, saat Shani menyalakan handphonenya, 3 SMS masuk bertubi-tubi. Dari Shania, Elaine, dan ... tanpa ia duga. Jeje. Shani menyerngit, heran. Heran kenapa SMS mereka bisa masuk, dan heran kenapa Jeje, yang kemungkinannya cuma satu banding seribu, mengiriminya pesan.

Shani membuka SMS itu satu persatu. Dari Shania isinya 'Shan, udah sampe?' Hanya itu. Shani berusaha tidak memikirkan apa-apa. SMS itu pasti dikirimkan Shania sebelum ia tahu bahwa Shani pergi. Shani membuka SMS berikutnya, dari Elaine, 'Shan, jangan lupa kita presentasi hari ini. Sms aja ya, kuotaku habis.' Shani menghela nafas. Presentasi Pkn. Ia lupa. Dengan kepergiannya, berarti ia sudah meninggalkan beban itu pada kelompoknya. Padahal Shani sangat tidak suka bertindak tidak bertanggung jawab.

Lalu selanjutnya, dari Jeje. Shani menarik nafas panjang. Biasanya, jika Jeje mengiriminya pesan, isinya hanya umpatan-umpatan atas ketidakpuasannya pada kerja Shani. Garis bawahi ketidakpuasan. Memang kapan Jeje pernah puas pada pekerjaan Shani?

Karena Kita Semuanya Team | JKT48 Band&Shani [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang