Part 19

1.1K 93 7
                                    

Dua tahun kemudian ....

Gracia mengecek jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Pukul 4 sore. Ia menghembuskan nafas keras. Matanya mencari-cari di kejauhan.

"Loh? Gre-chan? Belum pulang?" tanya Nadhifa, salah satu teman kuliah Gracia.

Kelas sudah bubar sejak tadi, tapi Gracia masih berdiri di depan kampusnya.

Ya, dua tahun sudah berlalu sejak saat itu. Gracia dan Shani kini sedang menjalani hari-hari sibuk sebagai mahasiswi baru. Nat juga sedang sibuk menyelesaikan skripsi untuk lulus tahun depan. Saktia sendiri masih lumayan bisa bersantai.

"Eh, kamu Nad. Iya nih, lagi nunggu Shani," jawab Gracia.

"Oh, kembaranmu ya?" tanya Nadhifa lagi. Gracia mengangguk.

"Hati-hati, kayaknya bakal turun salju," ujar Nadhifa sambil menatap langit. Gracia ikut menatap langit. Langit memang terlihat gelap. Udara juga mulai dingin.

Gracia jadi menyesal kenapa tadi ia tidak mengikuti saran Nat untuk membawa mantel dan payung. Tadi pagi memang sangat cerah, jadi Gracia yakin bahwa salju tak akan turun hari itu. Namun, tadi siang tiba-tiba langit mendadak gelap. Musim dingin mulai lebih awal dari perkiraan.

"Ya udah aku duluan ya," kata Nadhifa lagi. Ia berjalan dan melambaikan tangan pada Gracia. Gracia balas melambai.

Gracia menatap jalanan dengan sedih. Jangan-jangan Shani lupa. Pikirnya. Namun, pikiran itu langsung dilupakan Gracia saat melihat Shani menyeberang jalan dengan tergesa. Gracia ikut berjalan menghampiri Shani.

"Aku lama ya?" tanya Shani sambil memberikan mantel pada Gracia. Gracia menggeleng dan memakai mantel itu.

"Jangan bohong deh. Kampus kamu udah sepi. Kamu udah pulang dari tadi kan? Maaf ya, tadi aku tiba-tiba dipanggil dosen," jelas Shani sambil membantu Gracia memakai mantel. Kampus Shani dan Gracia memang berbeda dan meskipun letaknya tidak terlalu jauh, tetap akan lama bila berjalan kaki.

"Tadi aku nunggu sama Nadhifa kok, Shan," kata Gracia berusaha menenangkan Shani. Yah, meskipun ia berbohong. Sebab Gracia tak suka melihat Shani yang suka menyalahkan diri sendiri. Kebiasaan yang tak juga hilang.

"Trus Nadhifa-nya mana?" tanya Shani sambil membuka payung. Salju mulai turun.

"Barusan pulang. Udah yuk langsung ke stasiun," ajak Gracia mengalihkan pembicaraan. Shani mengangguk. Mereka lalu berjalan ke stasiun yang letaknya tak terlalu jauh.

Sambil menunggu kereta, Shani membeli dua kaleng kopi dari mesin penjual otomatis di stasiun. Ia memberikan satu kaleng pada Gracia, yang langsung meneguk kopi itu.

"Ini salju kedua kita di sini," ujar Gracia sambil menatap Shani. Shani menatap balik, lalu tersenyum.

"Emang kenapa?" tanya Shani. Gracia mengangkat bahu.

"Nggak papa. Nggak nyangka aja," jawabnya sambil memalingkan pandangan.

"Kamu aneh," gumam Shani, namun cukup keras untuk didengar Gracia.

"Aneh tapi sayang kan?" sahut Gracia sambil tertawa. Shani memukul bahu Gracia pelan, tapi kemudian ikut tertawa.

***

Keluar dari stasiun, rupanya salju masih turun dengan deras. Shani membuka payungnya untuk melindungi mereka berdua dari hujan salju. Mereka masih harus berjalan sedikit lagi untuk sampai ke rumah.

"Kok hujan saljunya udah deres ya Shan?" tanya Gracia sambil berjalan. Shani mengangkat bahu.

"Kan yang anak klimatologi kamu," jawab Shani. Gracia merapatkan mantelnya. Udara semakin dingin.

"Kayaknya global warming berpengaruh banget sama perubahan musim," kata Gracia.

"Hmm," gumam Shani mengiyakan. Mereka berjalan semakin cepat.

"Orang gila mana yang mau keluar rumah tanpa mantel dan payung?" tanya Gracia saat melihat seorang wanita yang sedang berjalan di sisi jalan yang lain. Shani ikut menatap wanita itu. Shani merasa tak mengenal orang itu, tapi entah kenapa ia terlihat tak asing di mata Shani.

Wanita itu hanya mengenakan jaket yang terlihat tipis, tanpa sepatu bot dan payung. Wanita itu menunduk dan berjalan dengan cepat sambil menggosokkan kedua tangannya, berusaha menghangatkan tubuh.

"Mungkin dia sama kayak kamu," jawab Shani. Gracia menatap Shani sengit.

"Sama gimana?"

"Suka nggak ndengerin kata-kata orang lain," sindir Shani. Gracia mengerucutkan bibir.

"Ungkit aja terus Shan," cibirnya kesal. Shani tertawa kecil, lalu kembali memperhatikan wanita itu.

Wanita itu mendongak sebentar sebelum menghilang di tikungan, dan Shani sempat melihat wajahnya.

Deg .... Jantung Shani hampir saja berhenti berdetak. Ia mengenali wanita itu.

Shani memberikan payung ke Gracia dengan cepat, lalu tanpa berbicara apa-apa ia berlari menyusul wanita itu. Tak dipedulikannya teriakan Gracia yang penuh keterkejutan.

Wanita itu masih berjalan dengan cepat. Shani mengikuti di belakangnya. Lalu wanita itu berhenti di depan sebuah rumah. Shani ikut berhenti dan bersembunyi di balik tiang listrik yang cukup besar.

Shani mengintip dari balik tiang listrik. Ia meyakinkan dirinya sendiri saat melihat wajah wanita itu. Tak salah lagi.

Wanita itu menekan bel dengan tak sabar. Pintu terbuka dan menampakkan wajah wanita lain. Shani buru-buru menyembunyikan tubuhnya kembali.

Wanita itu masuk, lalu pintu tertutup kembali.

Shani menyadarkan kepalanya ke tiang listrik. Ia tak mungkin salah melihat. Penampilannya memang berubah, tapi Shani yakin betul ia tahu siapa wanita itu. Wanita itu ... wanita itu ... Jeje. 

Karena Kita Semuanya Team | JKT48 Band&Shani [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang