4. Serpihan Teka-Teki

357 33 1
                                    

Saat semua memuja senja dengan segala keindahan yang dipancarkannya, Luna tidak demikian. Ia sangat benci senja, karena senja pasti akan membawa kegelapan setelah itu. Senja bagi Luna hanya menggambarkan kebahagiaan sesaat. Membawa segala pesonanya untuk sesaat dan kemudian digantikan oleh kegelapan yang mengerikan.

"Luna!" Suara teriakan menyadarkan Luna dari lamunannya. Dengan langkah lebar Luna menghampiri sumber suara.

"Ada apa Bel?"

"Buatin gue jus tomat, sekarang!" Perintah Belinda dengan angkuh.

Bik Atun yang mendengar pun menghampiri kedua majikannya itu.

"Biar saya saja yang buat ya non Belinda?"

Belinda dengan geram membanting majalah fashion yang baru dibacanya.

"Gue maunya Luna! Udah deh bibi enggak usah ikut campur!" Cerca Belinda menatap tajam bik Atun.

Luna pun menengahi pertengkaran itu, "biar aku aja bik. Yaudah aku buat dulu ya Bel?"

"Ck! Cepet!" Lalu Belinda mengangkat kakinya ke atas meja seraya menonton tv. Bik Atun hanya geleng-geleng melihat majikannya itu.

Luna mulai mengiris tomat-tomat yang akan dijadikan jus.

"Biar bibi aja non." Ucap bik Atun gusar melihat majikannya yang selalu disuruh ini itu oleh Belinda dan tantenya.

Luna tersenyum ramah. "Ah enggak apa-apa bik. Luna ikhlas kok."

"Non Luna emang paling baik hatinya, semoga selalu bahagia ya non." Doa bik Atun seraya menepuk bahu Luna pelan.

"Amin, makasih bik."

Suara blender menggema di dapur, dengan senyuman lebar Luna melihat jus buatannya dengan puas.

"Ini Bel." Luna menaruh jusnya.

Belinda hanya melirik Luna. Saat Luna hendak pergi, suara Belinda memanggilnya.

"Pijitin gue Lun, pegel kaki gue abis pelajaran olahraga." Ucap Belinda seraya meluruskan kakinya ke arah Luna. Dan lagi-lagi Luna hanya bisa mengangguk.

Sebenarnya Belinda sangat geram dengan Luna, ia benci melihat kebaikan Luna. Bagi Belinda, Luna itu musuh besar dalam hidupnya dan Belinda benar-benar membeci Luna.

Jam besar yang berdiri kokoh di sudut rumah sudah menunjukan pukul sembilan malam tapi Luna masih berkutat dengan tumpukan baju Belinda yang menggunung. Tadi sehabis Luna memijit Belinda, ia disuruh Belinda untuk merapikan lemari pakaian Belinda. Sebenarnya tubuh Luna amat lelah, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Papanya bekerja di perusahann yang letaknya berada di luar kota, pulang kadang seminggu sekali dan kalau sibuk pulangnya bisa dua minggu sekali. Dan Luna tidak pernah barang sedetik pun melihat muka Mamanya. Tapi menurut cerita Papanya, Mama Luna itu orang yang cantik dan baik seperti Luna. Kata Papa nya lagi, Luna mewarisi mata coklat terang sama seperti Mamanya. Dan hanya kalung berbandul batu berwarna biru adalah satu-satunya peninggalan dari Mamanya, kalung yang sering Luna kenakan. Sedang Luna tinggal bersama tantenya yang single parent dan anaknya, Belinda. Sebenarnya rumah ini adalah rumah papa Luna.

Dengan tenaga yang tersisa Luna memasukan baju Belinda yang sudah rapi.

Akhirnya selesai juga! Pekik Luan dalam hati dengan girang.

"Bel udah rapi lemarinya, aku boleh tidur?"

"Hmm." Gumam Belinda menatap lurus pada layar televisi. Tadi sebelum ia menghampiri Belinda, Luna melihat tantenya masuk ke kamar, mungkin capek bekerja.

LS [2] - FalloutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang