Pemuda enam belas tahun, duduk sendirian di kelasnya sore ini. Kelas sudah sepi sejak satu jam lalu. Pemuda itu masih giat menekuni hobinya; menggambar. Tatapan mata tajam pemuda berparas tampan itu berkutat pada kertas putih dan pena yang ia goreskan di atasnya. Hidung mancungnya kembang-kempis saat mendapati tekstur garis dalam gambar tidak sempurna.
"Arggh," geramnya, namun dia tetap semangat meski sudah empat kali menghapus sketsa gambar itu—karena dirasa belum sempurna. Setengah jam berlalu, kini tahap finishing dimulai. Pemuda itu mulai mempertajam garis di gambar supaya sketsa wajah membentuk gambar utuh, dia mengarsir beberapa lini di mana terdapat bayangan.
Setengah jam kemudian, dia tersenyum sangat lebar. Deretan gigi putihnya menunjukkan betapa puas dia akan gambar itu. Meregangkan otot dengan menarik tangan ke atas tinggi-tinggi lalu menoleh ke belakang, melirik jam dinding. 16:30 sore. Nyaris dia mendesah geram karena harus menunggu lebih lama lagi. Tapi sudahlah, pikirnya. Matanya yang tajam kembali terpaku pada karya buatannya.
Dalam hati, pemuda itu bersyukur dirinya harus menunggu kedatangan sahabat perempuannya se-lama ini. Jadi dia bisa menyelesaikan gambar ke... em, mungkin ke seratusnya? Entahlah, dia sudah menggambar wajah ini sebanyak dia mengingat perasaannya untuk gadis itu.
Dielusnya lembut gambar itu bagai mengelus sosok aslinya. Ia dapati wajah berjilbab yang ia gambar tertimpa serbuk karet penghapus, pemuda itu menyingkirkan debu pengganggu perlahan, tak kalah lembut dari sebelumnya. Senyumnya kian merekah.
Terlintas di pikirannya untuk menyampaikan isi hati yang selama ini sukar diungkapkan. Lalu ia menggoreskan pena ke dalam gambarnya.
I Love You, Andini Ekaputri Nur'aulia
I'll Always Loving You
Kemudian pemuda itu menulis namanya sendiri di bagian bawah.
Untukmu, dari aku yang mencintaimu selalu, Irvan Atamaraja.
Seandainya gambar ini adalah surat? Bisa sih, dikirim dalam amplop dan kertas ini akan menjadi surat. Surat dengan isi sepotong hati. Sepotong hati yang mencari potongan lainnya. Tapi, apa mampu Irvan mengirimnya? Sudahlah, cukup dengan mengagumi dia saja. Ya, cukup dengan mengagumi dia saja.
Senyum merekah indah di wajah pemuda tampan ini kian melebar. Dirinya tak pernah merasa se-hidup ini. Sebelumnya, dia hanya menggambar wajah Andini di tempat yang aman, tempat di mana yang bersangkutan tidak akan tahu. Ya, di dalam kamar. Tapi sekarang dia berani menggambar dia di sekolah? Itu hal yang paling melegakan.
Entah sudah berapa lama dia menyukai Andini, gadis berpipi menggemaskan itu membuatnya gila.
Tatapan matanya pada gambar itu tak sekalipun berpaling, sampai suara itu datang memekak telinga.
"Irvan!!!" pekik gadis berjilbab sambil menggedor pintu. Tanpa babibu gadis itu langsung berlari mendekati Irvan.
Irvan tak mau dirinya basah kuyup ketahuan, sifat pengecutnya kembali. Sontak dengan gerakan lebih cepat dari langkah cepat Andini, Irvan lebih dulu menyelipkan buku gambarnya ke laci meja. Kemudian bersandiwara, sok main drama.
"Lama banget deh, gue nunggu di sini ampe kesemutan, tauk!" mimik mukanya berhasil berkamuflase, tetapi tangan Irvan masih berada di laci. Memberi kesan janggal bagi Andini.
"Apaan tuh?" tanpa meminta maaf terlebih dulu, gadis itu langsung menanyakan benda yang disembunyikan Irvan. "Hadiah ulang tahun gue, ya?" muka gadis itu penuh dengan senyum, hampis seperempat mukanya adalah senyum.
"Lo baik banget sih, Van." Menjerit sekencang mungkin.
Memang dari awal tidak marah, menunggu Andini selama apapun bukan masalah bagi Irvan. Dia cuma mau berpura-pura galak, tapi setelah melihat senyum lebar itu di wajah Andini, Irvan bahkan tak mampu berpura-pura kesal.
"Enggak, ini bukan hadiah buat lo. Kan hadiah lo gue traktir nonton, gimana sih?" dengus Irvan menahan tawa saat muka Andini berubah murung. Pipinya yang gemuk kian gendut. "Kampret, gue cubit juga nih pipi!" sayang sifat pengecut Irvan masih menguasai dirinya. Dia tidak mengatakan apa yang ada dalam pikirannya.
"Yahh, masa cuma nonton sih, Van. Sahabatnya ulang tahun itu kasih kado kek, hadiah keren kek, masa cuma traktir nonton doang," cibir Andini sembari bersedekap seolah dia geram, padahal tidak.
"Ya gue kan masih anak SMA. Kalo gue udah kerja, nanti gue kasih rumah, mobil, perhiasan, sama buku nikah sekalian kalau lo mau." Irvan segera menarik tangan keluar dari laci bersama buku gambarnya. Lalu memasukkannya ke tas dan berdiri sambil mengentakkan kaki.
"Haha, jangan marah dong. Cuma bercanda kok." Andini menghentikan Irvan yang hendak melangkah keluar. "Gue seneng banget udah lo traktir nonton. Soal buku nikah, gue nggak mau tuh. Sori yee!" sambil cekikikan.
Jleb. Satu tusukan untuk hari ini, tepat di ulu hati.
"Udah ah, ayok, keburu mulai filmnya!" Andini tanpa dosa menarik tangan Irvan. Gadis itu menggandengnya erat. Dia tak tahu kalau pemuda lama-lama tidak akan kuat menahan serangan jantung yang datang bertubi-tubi. Entah berapa kali setelah diempas ke langit, Irvan harus merasakan kerasnya berbatu di bawah sana. Malang sekali nasibnya.
=====================================================================================
Ini cerita aku persembahkan buat kakak tercinta: andiniciput
Baru intro, kayaknya bakal panjang deh kak. wkwkwk.
Jangan lupa kasih reviewnya, Kak. Hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deeper
Teen FictionUntuk Kakak tercinta _________________________________________ Masalah datang secara tiba-tiba di kehidupan Andini seperti hujan tanpa mendung. Bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Kedinginan, nyaris membeku. Reza, pemuda yang tak pernah dia kenal sebe...