Jam enam di tempat yang lain. Irvan turun dari motornya, berjalan menyusuri lapangan parkir. Beberapa menit kemudian dia masuk ke kelas yang sepi. Dia hendak duduk di bangkunya, tetapi mendengar suara itu, Irvan langsung berlari menuju sumber suara.
"Aaa!" teriakan itu terdengar dari lantai tiga.
Irvan melesat menaiki anak tangga. Tangannya berkeringat karena ini masih sangat pagi untuk menjumpai kejadian buruk dalma terkaannya. Suara itu mirip seperti suara sahabatnya, namun Irvan tidak ingin membayangkan itu benar-benar dia.
Dia sampai di lantai tiga. Kepalanya mengedar pandang ke seluruh tempat, tidak ada orang di sana. Baru dia ingat ada tangga menuju atap sekolah, Irvan berlari ke sana. Lalu mendongak dan berhenti saat menginjak anak tangga pertama.
Apa yang dilihatnya bukanlah bayangan, atau sebuah terkaan, namun itu nyata. Sungguh, itu tadi benar-benar suara Andini.
Irvan melangkah maju penuh amarah melihat cowok baru itu sedang bersisian dengan Andini. Dia pasti yang menyebabkan Andini berteriak, dasar. Memang harusnya dari awal dia memperingatkan Reza dengan tinju. Reza benar-benar berbahaya.
"Heh!" bentak Irvan sebelum sampai di dekat mereka.
Andini yang menunduk kemudian mendongak setengah kaget menatap Irvan. Reza hanya membalas sapaan kurang enak didengar itu dengan tatapan tenang. Mata Reza dan Irvan bersitatap, Reza dapat melihat kobaran amarah di kedua bola mata cowok itu.
Sedetik lebih cepat sebelum Andini membuka suara, Irvan sudah mencengkram kerah cowok di sebelah sahabatnya ini sangat kuat. Dia memajukan tubuh Reza hingga mendekat ke arahnya.
"Lo apain Andini?!" bentaknya lagi.
Andini yang sadar bahwa Irvan tidak tahu apa yang terjadi langsung mengerti. Kekhawatiran yang selama ini selalu ditunjukkan Irvan akan meledak tak lama lagi. Andini bergegas maju, menengahi perkelahian yang mungkin saja akan terjadi.
"Van, lo apaan sih? Jangan emosi dulu." Andini merangkul lengan Irvan, yang nampak sangat kukuh mencekal kerah Reza. Bahkan berat tubuh Andini tak mampu menarik lengan itu dari leher Reza.
Irvan langsung menoleh dan menyingkirkan tubuh Andini di sebelahnya. Menganggu, pikirnya. Dia tidak akan segan lagi untuk memberi Reza pelajaran.
"Lo ya, jawab kek!"
Andini tersentak ke belakang, tangannya terlepas dari lengan Irvan. Teriakan Irvan barusan mengonfirmasi kalau kesabarannya telah habis. Irvan lantas menarik tangan kanan yang mengepal ke belakang, dan mengayunkannya tanpa pikir panjang.
Andini terperanjat saat pukulan itu mendarat di pipi kiri Reza. Suara yang menusuk lubang pendengarannya berbunyi seperti dua benda tumpul saling bertabrakan. Keras, dan seperti ada bagian yang retak dari dua benda tersebut.
Andini tak mau terjadi perkelahian. Andini maju, masuk ke tengah-tengah kedua cowok itu dan mendorong tubuh Irvan menjauh.
Reza terhuyung ke belakang, jatuh terduduk di anak tangga. Andini memutar tubuhnya cepat. "Lo nggak apa-apa, Za?" tangannya mencoba memegangi lengan cowok itu takut, sedangkan matanya masih menanti apa yang terjadi dengan wajah Reza. Bunyi retakan tadi membuat hatinya mencelos.
Di sisi lain, Irvan merasa semuanya tidak adil, lebih tepatnya membingunkan. Dia datang ke sini untuk membela Andini, namun justru dirinya lah yang nampak sebagai pelaku utama.
Irvan hanya bergeming sambil menunggu cowok itu mendongak. Poni panjangnya menghalangi wajah cowok itu, dia tak dapat melihat luka seperti apa yang dideritanya. Matanya langsung melirik ke Andini, gerak-gerik sahabatnya ini terlihat begitu khawatir. Dalam hati Irvan mendecih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Deeper
Teen FictionUntuk Kakak tercinta _________________________________________ Masalah datang secara tiba-tiba di kehidupan Andini seperti hujan tanpa mendung. Bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Kedinginan, nyaris membeku. Reza, pemuda yang tak pernah dia kenal sebe...