Bagian 14

34 3 0
                                    

Reza memotong sayuran dengan mata menerawang. Apa yang baru saja ditunjukkan Irvan adalah sebuah peringatan. Cowok itu mencoba mencari letak dan motivasi Irvan sampai melakukan hal itu kepadanya.

Untuk apa menunjukkan gambar-gambar wajah Andini yang ia buat kepadanya?

Apakah dia merasa Reza adalah ancaman? Atau mungkin, saingan?

"Agh," rintih Reza sadar dari lamunan. Reflek ia melempar pisau saat tanganya mulai berdarah. Dia mengambil air di kran wastafel kemudian menyiram telunjuknya dengan itu. Dia menatap tangannya sendiri. "Bodohnya, ngapain juga kepikiran kalau gue ini rivalnya dia?" gumamnya pelan, merutuki diri sendiri.

Pintu terbuka, suara berderit khas yang ditimbulkanya membuat Reza menoleh ke sana. Seorang cewek berhijab dengan pipi tembam tersenyum riang masuk sambil berkata, "Apa pesanannya sudah siap?" dia mencari sosok koki senior yang tadi menerima pesanan pelanggan nomor tiga.

Si koki senior yang ada di sampingnya tersenyum, matanya bergulir sekali dua kali ke arah Reza. Cowok itu sadar telah ditunjuk, langsung mengalihkan pandang dan kembali memotong sayuran. Andini sendiri membulatkan mata, menatap satu tangan cowokitu meneteskan cairan merah.

"Reza," panggilnya khawatir. Dia lantas berjalan cepat ke arah cowok itu. "tanganmu kenapa?" tanyanya saat samapi di samping cowok itu.

Reza diam.

"Za, kamu berdarah." Meskipun tak ditanggapi Reza, Andini dengan inisiatifnya melangkah ke kotak P3K. Cewek itu membuka lalu mencari, mengambil sebotol obat merah dan perban. Kembali melangkah dengan buru-buru, hingga kakinya tersandung dan jatuh.

"Aagh!" jertnya. Obat merah dan perban itu menggelinding jatuh. Koki-kokiyang lalin berhenti sejenak bekerja, menatap nanar dan ingin membantu cewek manis itu. Reza dalma sekejap—untuk kedua kalinya—melempar pisau ke segala arah di samping sayuran. Raut ngeri di mukannya tampak jelas saat dia mendekati cewek itu untuk membantunya bangun.

"Hati-hati dong," kata Reza katus. Tangannya bergegas mengambil obat merah dan perban di lantai. Dia membangunkan Andini namun tidak bisa. Kakinya terkilir, begitu kata Andini. Terpaksa Reza harus mendudukkannya. Reza masih berjongkok di depan Andini, hendak melepas sepatunya.

"Za, bawa ke ruang sebelah istirahat aja. Kerjaanmu nanti aku yang handle." Seorang koki senior lainnya menyarankan.

Reza mendongak alalu mengangguk. Dia lantas menatap Andini sebentar saat cewek itu akan berkata sesuatu kepadanya, namun karena tidak ada kata yang keluar, Reza langsung membopong Andini.

Gila. Dunia ini rasanya seperti berhenti berputar. Andini tak mau dunia ini berjalan sebagaimana mestinya. Dia ingin tetap merangkul lehernya seperti ini, ingin berlama-lama berada dalam dekapan cowok ini. Ia mau sekali terus-menerus menatap wajah khawatir Reza, bahkan ia rela sakit parah kalau dengan cara ini bisa mendapatkan perhatian Reza.

"Maaf, aku selalu nyusahin kamu," ucap Andini saat dia sudah duduk dengan telanjang kaki. Cowok di depannya tengah mengoleskan obat di kakinya.

Reza tak menjawab.

"Za, tanganmu berdarah," Andini mengingatkan. Saat itu pula Reza berhenti mengoleskan balsem ke punggung kaki cewek di hadapannya. Dia mengangkat tangan kanan dan menunjukkan jari telunjuknya yang sudah dibalut perban serampangan. "Oh," sahut Andini mengerti.

Selesai mengoles balsem. Reza berdiri dan menatap Andini. Cewek itu balas menatapnya.

"Lain kali hati-hati. Istirahat aja dulu," nasihat Reza. Dia baru membalik badan untuk pergi, namun Andini menggenggam tangannya. Mengambil obat merah serta perban di samping kursinya dan lalu membuka perban di tangan Reza.

DeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang