Bel sekolah berdering kencang. Andini menatap sepasang manik yang baru saja membuatnya tidak jadi menumpahkan semua airmata yang tertahan. Cewek itu memandang dengan sorot terpaku sempurna. "Lo juga punya masalah?" ucapnya tanpa mengacuhkan keberadaan Irvan. "Selama ini perasaan gue bilang, kalau lo itu punya masalah, itu bener?"
Reza tidak mengatakan apapun. Dia memutar kepala ke arah lain, menggeser bangku dan beranjak pergi.
Andini ingin sekali menahan tangannya, namun mereka baru kenal, tidak sepantasnya dia melakukan hal itu. Andini hanya diam merelakan punggung cowok itu menjauh.
Pelajaran matematika menghabiskan waktu sampai jam istirahat. Perut Andini terasa seperti bedug yang diketuk terus-menerus oleh cacing-cacing di dalamnya. Dia menoleh ke arah Irvan. Sahabatnya itu sedang mengerutkan kening. "Apa?" tanya Andini heran.
"Lo ada apa deh sama tuh cowok?" balas irvan bertanya. Tak mengerti.
"Apanya yang ada apa?" Andini bernada ketus.
Irvan hendak mengatakan kalau dia merasa tidak nyaman dengan perilaku Andini dan Reza. Banyak sekali pertanyaan mengenai mereka berdua. Ketika jam pelajaran tadi, misalnya, apa yang diucapkan Reza sampai Andini tiba-tiba mengurungkan tangis?
Irvan melihatnya, dia selalu memperhatikan Andini lebih dari siapa pun. Dia tahu sedari pagi Andini murung, sorot mata cewek itu berkali-kali kosong, entah ke mana perginya. Setiap kali padangan kosong itu menguasai Andini, matanya pasti berembun. Irvan tahu, Andini akan menangis tak peduli tempat maupun waktu. Tetapi tadi? Kenapa dia tidak menangis?
"Din." suara lirih itu terseru dari bibir Irvan. "Ceritain ke gue. Jangan nanti, sekarang. Gue butuh tahu apa yang sedang lo hadapi. Gue sahabat lo, Din."
Tangan Irvan diam-diam bergerak sampai ke punggung tangan Andini yang ada di atas pangkuan cewek itu, lalu mengelusnya lembut, memberikan kehangatan dan kepercayaan. Irvan ingin dia dipercaya oleh Andini.
Tetapi Andini menggeleng. "Nanti, Van. Nggak sekarang."
Irvan kini menggenggam tangan sahabatnya. "Sekarang, Din. Gue perlu tahu apa masalah lo. Gue tahu lo itu seperti apa. Tadi, lo hampir nangis pas pelajaran, gue nggak tega lihatnya, Din."
Andini merasa dirinya dipandang dengan belas kasihan. Sorot tajam dari mata Irvan seakan ingin mengasihaninya. Dia tahu, Irvan hanya khawatir, tetapi dia tidak bisa merasakan seberat apa kesedihan yang dimilikinya. Andini tidak butuh belas kasihan, dia butuh seseorang yang mengerti dirinya. Dia ingin seseorang yang mampu merasakan apa yang dia rasakan. Dia butuh seseorang seperti... Reza? Mungkin.
"Enggak, Van. Suatu saat gue pasti ngomong ke elo. Suatu saat." Andini tersenyum tipis, kemudian beranjak dari duduknya.
Irvan tidak menahan. Dia membiarkan Andini pergi. Dia merasa kesal lantaran beranggapan dirinya tidak berguna. Irvan ingin sekali menolong Andini, tetapi seolah senyum itu akan surut, pudar, bahkan hilang, jika dia mendekat atau mencoba masuk lebih dalam lagi untuk mencari penyebab sahabatnya ini menderita. Untuk saat ini, dia hanya perlu menjauh, mencoba memberi waktu bagi Andini agar sendiri.
@@@@
Seminggu telah berlalu semenjak hari itu. Andini tetap pada pendiriannya, pendirian yang menganggap sekolah tidak lagi hal penting. Dia lebih memilih menyiapkan diri agar bisa jadi wanita yang memikat bagi calon suaminya nanti.
Semalam sebelum dia tidur, ayah sengaja menjenguknya di kamar. Jam sebelas, tepat setelah Andini selesai menguras airmata.
Andini berbaring menyamping, menghadap jendela kamar, membelakangi ayahnya yang malam itu duduk di sisi ranjang. Andini mendengar apa saja ucapan ayah, semuanya. Dia belum benar-benar terlelap.

KAMU SEDANG MEMBACA
Deeper
Teen FictionUntuk Kakak tercinta _________________________________________ Masalah datang secara tiba-tiba di kehidupan Andini seperti hujan tanpa mendung. Bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Kedinginan, nyaris membeku. Reza, pemuda yang tak pernah dia kenal sebe...