Bagian 7

40 3 0
                                    

Siang bersinar melebihi kebiasaan. Mentari di sana terlalu bersemangat dalam menunaikan pekerjaannya. Di bawah sebuah tower air berbentuk bulat besar, Andini duduk berdampingan dengan Irvan. Dia telah selesai menceritakan semuanya, semua yang dialamnya. Tentang ayah, tentang beasiswa. Namun tetap menyimpan adegan sore itu bersama Reza, di sini. Tepatnya sepuluh meter dari tempat duduknya sekarang.

"Itu yang ngebuat gue murung tiap hari. Lo masih inget kan, waktu pembagian ulangan matematika Pak Siswo?" Andini mendesah. "Untuk pertama kalinya, gue nggak dipanggil ke depan sama beliau." Lalu tertawa sedih. "Kertas ulangan gue udah dibuang ke tong sampah karena nilainya jelek. Waktu itu gue lagi malas-malasnya belajar, Van."

Dan Andini terbahak, menyadari betapa lucunya dia. Dulu sempat berpikir tidak ingin mendapat perhatian spesial dari guru satu itu, tetapi saat dia mendapatkan keinginannya, Andini malah menyesalinya, dasar.

Di sisi lain, Irvan termangu. Tercenung menyadari hidupnya lebih rumit dari yang dia bayangkan. Baru semalam ayahnya bilang padanya dan mengatakan perihal penting untuknya. Kini dia harus menghadapi kenyataan bahwa dunia telah mempermainkannya.

"Daripada kamu gambar wajah perempuan yang nggak bisa kamu dapetin, lebih baik buang saja. Untuk apa gambar sebanyak ini kamu buat, terus kamu pajang di kamar tanpa bisa menyentuh tubuh aslinya?" kata Ayahnya semalam. "Mulai sekarang Papa minta kamu jangan gambar wajah itu lagi. Papa sudah jodohkan kamu sama perempuan pilihan Papa. dan untuk kali ini, kamu nggak bsia nolak!"

Ha-Ha-Ha. Irvan bahkan bisa mendengar dunia ini menertawakannya, jalan hidupnya. Selama bertahun-tahun mencintai Andini, sahabatnya, dia selalu melawan keputusan ayah demi cewek itu. Selalu mengikuti kemana pun cewek itu pergi. Pindah sekolah pun dia akan ikut jika itu untuk Andini. Dan tepat malam tadi, Irvan merasakan dunianya hancur. Sekarang dia harus menerima kenyataan saat Andini bercerita, dia juga dijodohkan oleh ayahnya.

Apa jalan hidupnya dan Andini begitu berbeda? Kenapa Tuhan sangat kejam? Kemana pamrih yang harusnya dia dapatkan dari semua pengorbanan yang ia lakukan? apa usahanya masih kurang? Dan pertanyaan lucu lainnya, kenapa masih marak perjodohan di era globalisasi seperti sekarang ini?

Irvan mendesah berat memikirkan itu semua. "Gue nggak punya banyak waktu. Sebelum lulus sekolah, gue harus bisa menyatakan perasaan gue ke Andini." Pikiran itu melesat secara cepat, melintas di otaknya malam itu setelah keputusan ayahnya. Irvan bertekad akan mengubah hidupnya. Dia akan menunjukkan pada ayah, kalau dia bisa mendapatkan cewek yang dia cintai sebelum tiba waktunya bertemu dengan calon yang dipilih ayah.

Irvan akan bilang pada ayahnya setelah mampu menaklukan Andini. "Anggapan Ayah salah, Irvan sudah dapatkan hati orang yang Irvan cintai. Jadi batalin perjodohan itu." Malam itu ketika dia membayangkannya, Irvan merasa dirinya menang, menang dari ayah, menang dari takdir.

"Gue udah dijodohin buat nikah sama anak bos Ayah gue."

Lagi-lagi kalimat Andini barusan membuat Irvan mendengar tawa-tawa binal Takdir Dunia. Jalannya terhalang tembok besar, dan ia tak yakin dapat meruntuhkan tembok itu.

".... Van," panggil Andini membuyarkan lamunan Irvan.

Irvan menoleh dan menatap kedua manik di wajah cantik sahabatnya. Sial. Kenapa dia merasa kalau wajah secantik ini adalah yang pertama dan terakhir kalinya yang dapat dia perhatikan?

"Sori bikin lo cerita semuanya ke gue. Dan lo bener, gue nggak bisa bantu. Emang dari awal harusnya gue nggak nyuruh lo cerita ke gue." Irvan sangat murung. Lebih karena mengetahui jalan masa depannya tak lagi cerah, tak lagi seperti yang diharapkannya.

DeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang