Andini memandangi barisan lampu wahana permainan pasar malam, dari atas kap depan mobil Irvan. Dia duduk bersila sembari menggsokkan tangan, Dingin. Irvan sendiri baru muncul ketika Andini menutupkan kerudung jaket birunya.
"Nih," kata Irvan sambil menyodorkan permen kapas bulat.
"Wihh, makan manis pas dingin itu nggak enak," cibir Andini.
"Yeey, udah bagus dibeliin masih aja komplain lo." Irvan sambil merengut, tapi tidak marah, ikut duduk di sebelah Andini.
Cowok itu tersenyum juga ketika tangan kecil sahabatnya meraih permen kapas darinya. Dia ingin balas mencibir namun tidak jadi lantaran kini ia melihat Andini dari sisi terlucu. Ya, cewek itu jika dari samping sedang menjilati permen, seperti anak SD.
Andini sadar dirinya diperhatikan. Dia menoleh cepat dengan lidah masih terjulur ke permen kapas, "Apa?" katanya dengan suara tidak jelas.
"Hehe," tawa Irvan.
"Heee, malah ketawa. Apaan sih?" decak Andini ringan.
Irvan kemudian menggeleng pelan. Dia memandang mata Andini lekat dan kemudian memamerkan lekung macho bibirnya. "Gue nggak pernah nyangka punya sahabat lucu dan manis kayak lo, Din." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir irvan tanpa adanya keraguan maupun penyesalan.
Kepala Andini mendadak besar. "Yah, kasihan deh baru nyadar. Dari dulu kan sahabat lo ini emang muanis!" lalu cewek itu menaikkan dua alisnya bersamaan. Dia keudina tertawa. Irvan membalas tawanya dengan cengiran kecil.
Tanpa ketulusan.
Berubah. Irvan merasa sahabatnya ini telah berubah.
Sayangnya, perubahan itu tidak ditunjukkan kepadanya. Melainkan kepada cowok lain.
"Din," panggil Irvan bernada lemah. Sayup suara musik berpadu nyanyian sunyi malam membuat suara Irvan terdengar tegas. "Jujur," Irvan sengaja memberi jeda. Matanya mulai menerawang langit, bertanya kepada mereka apa sahabatnya ini sudah terlalu dalam mencintai seseorang. "lo itu beneran cantik. Sangat cantik. Nggak ada ciptaan Tuhan yang mampu menandingi kecantikan lo."
Andini bergegas menoleh. Mulutnya yang tadi terbahak membuka degan suaranya lenyap. Dari matanya yang terbias percik lampu wahana permainan, sosok Irvan begitu berbeda.
"V-Van," panggilnya hati-hati. Cowok itu hanya menghela napas pendek dengan mata tertuju ke atas.
"Gue cemburu," kata Irvan kemudian. Yang membuat waktu terasa berhenti. Sesak, Terlalu banyak pertanyaan terpendam. Andini termangu masih, meneguk ludah, lalu memandang ke bawah.
"...." Andini ingin berucap sesuatu namun tidak terpikirkan apapun. Terlalu banyak yang ingin ditanyakan. Ia mengerti maksudnya. Mengerti kemana dan kepada siapa kecemburuan itu teruntuk. Tetapi ia tak menemukan letak alasan—asal dan muasal—terungkapnya pernyataan itu dari mulut seorang sahabat, orang yang tidak seharusnya menyatakan kecemburuannya akan cinta.
Tunggu.
Cinta?
Andini lantas memutar kepalanya lagi. Saat itu Irvan tengah menatapnya. Pandangan pun bertemu. Gugup, rasa yang tak pernah sekalipun terpikirkan bakal ada, nyatanya kini dialaminya. Andini ingin memutar arah pandangnya kembali. Berniat memikirkan lelucon pengalih topik dan penghilang suasana lambat ini. Namun pada detik itu pula... tubuhnya dibekukan oleh tiga kata dari sahabatnya.
"Gue cinta elo."
Terjatuh. Permen kapas tak lagi dapat terbang meski angin tengah berembus kencang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Deeper
Novela JuvenilUntuk Kakak tercinta _________________________________________ Masalah datang secara tiba-tiba di kehidupan Andini seperti hujan tanpa mendung. Bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Kedinginan, nyaris membeku. Reza, pemuda yang tak pernah dia kenal sebe...