Bagian 13

16 2 0
                                    

Irvan pagi-pagi sudah berada di gerbang sekolah. Melirik jam tanganya. Uh, masih jam enam ternyata. Matahari di atas sana juga masih malas menunjukkan diri. Irvan mendengus sebal, lantaran dia menunggu untuk hal yang membuat jantungnya berdegub tidak mengenakkan.

Dia melirik jam tangan lagi. sial, baru satu menit dia lalui. Kakinya bergetar cukup hebat namun dia menahannya supaya tidak kelihatan sedang grogi.

"Den, nggak masuk ke kelas?" tanya pak satpam yang saat itu menghampirinya sambil membawa dua cangkir kopi. "kalau belum mau, temenin saya ngopi pagi gimana, hehe?"

Irvan tersenyum menanggapi. Ya, sebetulmya sudah sangat sering Irvan menemani Pak Mansyur ngopi sore, tapi kalau ngopi pagi jarang. "Wah, bagus tuh Pak. Gak apa-apa nih Irvan ngambil jatah kopinya dua kali dalam sehari?"

"Lho ya nggak pa-pa. Wong ini kan juga dari Den Irvan to kopinya," celetuk Pak Mansyur sembari tertawa renyah. Pak Mansyur lalu meletakkan dua cangkir kopi di meja depan Irvan. Beliau duduk di kursi panjang yang Irvan duduki. Beliau mendesah rileks lalu mengambil dan menyeruput kopinya.

"Den, diminum kopinya," tawar Pak Mansyur setelah selesai satu tegukan.

"Ah iya, Pak." Irvan tak mau kehilangan kesempatan ini, jadi dia ikut menyeruput kopinya. "Wah, kopi seduhan Pak Mansyur emang paling top," pujinya.

"Halah, wong cuma kopi sachet kok," elak Pak Mansyur, tapi tetap tidak bisa bohong kalau muka beliau kini terlihat malu. "Eh, Den. Ngomong-ngomong, kenapa Den Irvan sering banget nungguin Non Andini. Tapi pas non Andini keluar, Den Irvannya malah ngumpet?"

"Uhuk." Irvan tersedak kopinya. Pak Mansyur mengerutkan kening, bingung terhadap reaksi anak muda di sampingnya. "Aduh Pak, ngagetin saya saja pake nanya kaak gitu," katanya sambil mengelap bibir menggunakan sarung tangan yang diambilnya dari saku.

"Masa' sih, Pak?"

"Lah, malah Den Irvan nanya balik, gimana to?" seloroh Pak Mansyur, "Den Irvan kan tiap sore nungguin di sini. Saya masih inget waktu hujan-hujan itu. Padahal udah malem lho, Den Irvan tetep nungguin. Tapi yang keluar bukan Non Andini, malah siapa itu namanya—em, Reza, ya?" Pak Mansyur mengangguk-angguk kepala senang dapat mengingat nama cowok itu. "Nah, sekarang Den Irvan pagi-pagi udah nungguin juga. Wah, ada apa to?"

Irvan tersenyum, dia menggaruk tengkuk kikuk. "Biasa, Pak. Urusan anak muda."

Pak Mansyur ber-oh santai. "Den, Den, Den," panggilnya tiba-tiba sambil kelereng mata Pak mansyur bergerak-gerak.

"Apa sih, Pak?"

"Itu lho, itu. Yang ditunggu udah dateng. Mau ngumpet lagi di pos atau gimana?"

Irvan langsung mengikuti arah pandang Pak Mansyur, dan dia melihat seorang gadis berhijab tengah bersepeda pelan mendakat. Dia menoleh ke arah Pak Mansyur seketika. "Kali ini nggak mau ngumpet, Pak. Irvan harus jantan!" seru cowok itu yakin.

Pak Mansyur langsung terngaga dengan pernyataan itu. "Wahh, keren!" dia menunjukkan dua jempolnya. "Ya, udah kalau gitu, Den. Saya permisi dulu."

Irvan menganguk dan Pak Mansyur melenggang pergi, tak lupa membawa kembali dua cangkir kopinya.

Andini sudah sampai di gerbang sekolah. Dia berhenti mendadak sesaat setelah membelok tajam masuk, lantaran dihadang oleh Irvan. "Van, ngapain di situ?"

"Nungguin elo, ngapain lagi?" kata Irvan.

"Minggir, ah. Gue mau lewat."

"Iye, sini gue bantuin."

DeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang