Bagian 21

49 2 0
                                    


Cowok itu berbaring di sofa ruang istirahat di tempat kerjanya. Setelah memasak banyak makanan untuk pelanggan, tubuhnya serasa diremukkan. Ditambah keterkejutan dia akan perubahan Irvan yang mengerikan, pikirannnya kini terus mencemaskan Andini.

Bagaimana kalau Andini benar-benar jatuh ke tangan Irvan? apa Andini akan bahagia menggandeng tangan orang itu?

Irvan bagai serigala kelaparan. Ia akan terus mendekati Andini sampai perangkapnya berhasil. Dia pasti akan menggunakan segala cara untuk meraihnya, bahkan jika itu membunuh orang lain, Irvan tidak akan ragu. Matanya sore tadi mengatakan kepada Reza segalanya. Seringainya juga bukan ancaman biasa.

Lalu, apa gue rela orang seperti itu jadi pacarnya Andini? apa gue rela orang sejahat dan sekasar itu jadi pendamping hidup Andini?

Itulah yang berputar-putar di kepala Reza saat ini. Sangat membingungkan. Apa Cila akan rela jika ia memberikan hatinya untuk cewek lain selain dia seorang? Apa Cila di atas sana mengizinkan? Apa Cila akan tersenyum untuknya? Apa Cila—

"Reza!" Suara itu menusuk gendnag telinga Reza sampai nyaris dia jatuh dari sofa.

Satu lengannya yang menutupi matanya ia singkirkan, ia melihat siluet wajah cewek dengan hijab melongo bingung di atas matanya. Sial jarak ini terlalu dekat.

Reza langsung menutupi mata sekaligus pipinya yang merah dengan lengannya. "Apa? ngapain ke sini?" katanya ketus.

"Za, jangan gitu dong," balas Andini sedih.

Reza merasakan sofa empuk tempatnya berbaring kini bergoyang sedikit, tungkai kakinya meraba panas punggung cewek itu. Dia duduk di sana ternyata. Reza mengintip dari celah di antara lengannya.

"Gue nggak tahu lagi sama siapa harus cerita. Hari ini Irvan aneh banget, Za."

Irvan? Reza hampir melompat dan duduk jika saja ia lupa sedang bicara dengan Andini, cewek yang seharusnya ia relakan.

"Terus?" tanya Reza akhirnya dengan posisi dan nada tanpa minat. Berakting lagi seakan tidak peduli.

"Aku harus gimana, Za? Dia udah aku tolak, tapi malah semakin gencar ngedeketin aku. Dia bilang kalau nggak bakalan nyerah sampai aku ngebalas perasaannya. Dia juga cerita soal kamu yang—" Andini kelepasan.

"—Yang apa?" tanya Reza memastikan walau dia sudah tahu.

"Y-yang katanya deket terus sama aku, gitu. Padahal kan kita deket cuma karena tempat kerjanya sama, ya?"

"Bohong!" batin Reza.

"P-pokoknya dia bilang nggak bakal nyerah gitu. Malahan hari ini dia itu nggak kayak Irvan yang aku kenal. Dia agresif, posesif, kemana pun aku pergi dia pasti menawarkan diri buat ikut, apa aja yang aku lakuin hari ini pasti dia tanyakan. Yang bikin kesel, sekarang nada bicaranya memaksa," curhat cewek itu sambil mengusap wajah lelah. "Aku harus gimana, Za?"

Reza malah mendesah, kesal. "Nggak bakal lo nemuin jawabannya lah, gue kan cuma orang yang deket sama lo karena tempat-kerjanya-sama."

"Ha?" Andini terkejut bahwa mengatakan hal itu. Nada bicaranya kok....

Sial, Reza keceplosan cemburunya. "Nggak usah mikir aneh-aneh. Kan pernah gue bilang kalau kita nggak usah jadi teman apalagi sahabat. Kita cuma rekan kerja, ingat?" Reza beralasan.

Muka Andini langsung lesu. "Oh, aku ingat kok."

Reza mengintip pemandangan itu, gurat kesedihan di muka cewek itu membuatnya merasa bersalah. Sangat. Kenapa dia tidak bisa jujur padanya? Ternyata benar yang dikatakan Irvan, dia itu pengecut!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang