Bagian 5

51 2 6
                                    


Banyak sekali yang harus dia perjuangkan sekarang ini. Andini dengan senang hati akan melakukannya, berharap mampu melewati semua tantangan hidup di depan sana. Ini semua berkat Reza. Cowok itu mengajarkan pada Andini, tak sepantasya dia menghina seseorang yang telah berjasa banyak bagi dirinya. Ralat, bukan banyak tetapi jasa Ayah memang tak terbalas.

Kini senyum Andini sama cerahnya seperti matahari di timur sana, yang dengan berani menerobos kaca jendela kelas. Cantik, pikir Andini. Dia pun merasa dirinya sudah cantik hari ini. Oke, dia sedikit murung tiga hari ini lantaran setelah memberikan payung dan sapu tangannya, cowok itu sama sekali tidak mau diajak bicara. Andini sampai harus menunggu semuanya pulang—termasuk Irvan yang mewancarainya seputar kegiatan yang dilakukan Andini hingga tega menyuruhnya pulang duluan—untuk menemui Reza di atap sekolah. Tetapi setelah Andini menjejakkan kaki di sana, cowok itu malah sedang tidur. Alhasil, Andini hanya dapat mengembalikan sapu tangan dan payung itu tanpa mengucap terimakasih.

Ini hari keempat, di mana Andini sengaja datang sangat pagi. Dia tahu, Reza selalu datang pagi tapi tidak ke kelas dulu, melainkan langsung ke atap sekolah. Andini menunggu sambil sesekali melirik jam dinding kelas. "Uh, jam enam."

Apa dia terlalu pagi?

Sepertinya tidak, karena suara tapak kaki dari sepatu yang sangat dia kenali itu berbunyi di depan pintu kelas. Andini tersenyum, lalu beranjak menuju balik pintu secara mengendap. Punggungnya bersender di balik pintu, siapa tahu Reza akan menoleh ke dalam. Andini tidak mau ketahuan dia ada di sana.

Ternyata suara itu menjauh. Menuju tangga sekolah.

Andini langsung mengepal tangan dan berbisik mantap. "Yes." Semangatnya menggebu dalam dada. Ini dia kesempatan emas untuk berterimakasih.

Andini keluar dari kelas lalu membuntuti Reza. Cowok itu berjalan tenang, tanpa menoleh. Andini melangkah panjang tanpa suara mengikutinya. Saat cowok itu menyadari sesuatu di belakangnya, Andini langsung melompat, mencari tempat di balik tembok.

Andini menarik dirinya semakin menjorok ke dalam tembok supaya tak terlihat, namun sayang dia tidak tahu bahwa keberadaannya di sana sudah ketahuan. Reza yang memang sudah tahu, hanya tersenyum lalu berbalik untuk berjalan selayaknya tidak menyadari keberadaan cewek itu.

Sampai di atap.

Reza menutup pintu lalu menunggu, menyandarkan tubuh di sebelah tembok.

Tak lama, engsel pintu bergerak, pintu terbuka dan menutupi sosok Reza di sebelahnya.

Setelah membuka pintu, Andini hanya memandang pelataran kosong. Cewek itu masih ada di ambang pintu sambil celingukan, dahinya mengerut. "Ih, kemana anak itu?" tanyanya pelan.

Andini melangkahkan kakinya, menutup pintu sambil terus mencari keberadaan cowok itu di depannya.

Reza tiba-tiba mendapatkan ide jahil. Tanpa suara dia melangkah, memutar engsel pintu perlahan. Dan tanpa disadari Andini, Reza masuk kembali ke tangga dan menutup pintu dengan membantingnya keras.

Brag! Andini terlonjak kaget, lalu menoleh ke arah pintu yang tertutup. Dia berlari secepat dia bisa, memutar engsel dan menarik daun pintu.

"Ehh?!" dia memutarnya lagi. "Ehhh? Reza?" panggilnya ketakutan sambil memutar dan menarik pintu menggebu-gebu. Namun masih tidak terbuka. Bahkan engsel pintu tidak dapat di putar, seperti ada yang menahannya di balik sana. "Bukain dong!"

Reza hanya terkikik tanpa suara. Tangannya mengcengkram engsel pintu agar tidak dapat diputar. Di hadapannya, terpisah oleh papan tebal bernama pintu, seseorang telah meraung dan menjerit sembari menggedor dengan keras.

"Reza bukain!" jeritnya kesekian kali. "Nggak lucu tau, nggak!"

Reza masih terkikik. Dia mengangguk-angguk kepala mengabaikan setiap sumpah serapah dari cewek itu. Lalu berdehem, membersihkan tenggorokan sebelum dia bicara. "Kenapa gue harus bukain?" katanya dengan nada tenang. Sangat dingin seperti biasa. Padahal, setelahnya Reza tertawa tanpa diketahui Andini.

"Maafin gue deh!" gedoran di pintu semakin melemah. "Gue cuma mau berterimakasih sama lo. Itu aja. Lo nya selalu nggak ada waktu buat diajak ngobrol. Di kelas diem, jam istirahat ngilang, di atap lo malah tidur. Jadi gue pakai cara ini supaya bisa ngobrol sama lo."

Reza tercenung mendengar pernyataan Andini. Tidak disangka, cewek itu mengatakan hal yang menurutnya terlalu berani untuk dikatakan dengan berteriak. Lama-lama Reza menahan pintu, lama-lama dia merasa kasihan karena suara di balik pintu tak terdengar lagi. Reza sendiri takut, kalau Andini mewek di sana. Bisa runyam segala urusannya jika di samping mejanya ada cewek yang sedang menangis selama seharian.

Akhirnya Reza melepas gagang pintu. Dia mundur ke belakang tanpa membukanya. Reza sendiri bingung apa yang akan dia katakan saat bertemu dengan Andini. Dia putuskan untuk pergi tanpa suara. Biarlah Andini di sana menganggapnya masih menahan pintu. Yang terpenting Reza tidak bertemu dengannya sekarang. Terlebih, cewek itu sekarang sepertinya sedang senang, maka itu bukan lagi jadi urusannya.

Kakinya telah menuruni sepuluh anak tangga tanpa suara berarti. Reza mengulum senyum. Dia terpikir dirinya sendiri yang sampai lupa sifat alaminya: diam, dingin, tanpa ekspresi, dan tenang... bisa-bisanya dia terkikik geli tadi. Ada apa dengannya?

Ah sudahlah, tidak usah dipikirkan. Benaknya berkata.

Reza baru membalik badan saat suara cewek itu berseru keras. "Aku dobrak nih, kalau nggak dibuka."

Sialnya, ketika mulut Reza baru membuka, kepalanya juga baru menoleh dan menengadah ke pintu. Andini sudah lebih dulu mendobraknya.

Pintu segera menjeblak tak mampu menahan tubuh Andini yang dengan kencang menabraknya. Kaki Andini tidak menemukan pijakan yang tepat pada anak tangga. Tubuhnya limbung seketika dan jatuh akan berguling.

Cekatan. Reza melompati beberapa anak tangga dan menggapai tubuh Andini. Mereka berputar hingga berhenti dengan posisi pinggang Andini ditahan kedua tangan Reza dari belakang.

"Aaaa!" jerit Andini masih terkejut tubuhnya terpelanting menuju anak tangga yang kelihatannya tajam dan dapat meremukkan tulang-tulangnya, jika saja dia berguling di atasnya.

Andini lantas menoleh ke belakang. Bersyukur kalau cowok ini ada di sana, menyelamatkannya. "Makas—" Andini mengatup mulut segera setelah menyadari pipi Reza sangat-sangat dekat dengan bibirnya. Untung, saat ini cowok itu sedang memandang ke bawah. Mungkin takut jika kemungkinan Andini terjatuh sehingga lumpuh. Dalam keadaan sepert ini, hanya satu permintaan Andini.

"Jangan noleh, jangan noleh, jangan noleh." Tak pernah terpikirkan oleh Andini, suara hatinya keluar melalui bibir.

Reza mendengar Andini berbisik, lantas menoleh dan bertanya, "Ap—"

CUP!

========


Oke, part ini absurd. Tapi daripada ndak update, hayo?

Wkwkwkwk.


Minta saran dan komentarnya yaa.

DeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang