Andini mematri dirinya di depan cermin. Wajahnya masih murung walau sudah ia rias secantik mungkin. Pipinya terlihat agak tirus berkat olesan bedak. Hijab berenda panjangnya dengan gaun merah berenda juga kini menyelimuti dirnya malam ini.
Andini mendesah berat. Ini harus terjadi. Banyak yang ingin ditanyakan kepada ayah mengenai pertemuan ini. Kenapa mendadak? Kenapa tidak ada kabar sebelumnya? Kemana ayah selama ini, pulang-pulang langsung memutuskan hal seperti ini? Apa belum cukup mengerti kalau Andini selalu keberatan dengan keputusan yang muncul tiba-tiba ini?
Namun semuanya tidak lagi ia pikirkan. Kini yang ada di otaknya hanya dua cowok di dekatnya. Bukan, mereka memang dekat tetapi sebetulnya cukup jauh untuk sekadar menyapa. Entah, apa ini yang namannya rasa bahagia lantaran bisa menemukan pelarian sementara atau karena Andini telah putus asa.
"Gak mungkin cowok segede Reza nggak tahu maksud gue tadi," lanturnya kesal. "udah pasti kan dia itu nolak gue. Udah pasti."
Dia tidak berhenti sampai di situ, ingatannya tentang Irvan kembali merekah ruah. "Dan Irvan, ngapain sih lo itu suka sama gue? Banyak cewek kaya yang sederajat sama elo. Pasti mereka juga lebih cantik. Ngapain milih gue?"
Andini menatap dirinya sekali lagi pada cermin. "Sudahlah, pusing. Gue nggak bilang ini pelarian. Cuma... memang udah nggak ada jalan buat gue milih dengan siapa cinta gue berlabuh nanti. Ini udah takdir, dan harusnya gue sadar lebih dini."
Andini menarik napas dalam-dalam hingga tenggorokannya terasa sesak dan tercekat. Satu tarikan napas ingin ia jadikan momen menghapus semua kenangan pahit serta indah bersama Reza maupunm Irvan.
Andini mengembuskan napasnya perlanan. Lalu memandangi bayangannya lagi di dalam cermin. Lalu ia sadar... kenangan tak semudah itu dilupakan.
"Din," suara ayah dan ketukan pintu itu mengagetkannya. Andini membalas dan segera beranjak keluar saat ayah bilang, "Mereka sudah datang."
Andini duduk di ruang makan di lantai satu rumahnya. Meja persegi dengan susunan banyak sajian masakan dan minuman seharusnya membuat selera makannya meledak seketika, tetapi sayangnya tidak. Entah kemana benak Andini malam ini.
Dia sudah melakukan yang diperintahkan ayah. Duduk manis sebentar menunggu mereka masuk dan makan malam—walau tidak bisa lagi disebut makan malam karena ini jam setengah dua belas. Jantung Andini berdetak normal, bahkan di saat seperti ini. Dia sudah tidak peduli siapa pendamping masa depannya. Kalau harus menikah dengan cowok pilihan ayah, ya menikah saja. Punya anak, ya punya anak. Jadi Ibu Rumah Tangga dan meninggalkan kuliah, ya jadikan saja. Malas merepotkan hal itu.
"Ah, terimakasih sudah mau menjamu saya, Pak Andri."
"Tidak apa-apa, Pak Direktur. Sedikit terlambat tapi saya sangat senang Anda sudah datang."
"Aduh jangan panggil Pak Direktur, kita dulu kan tetangga. Lagian bentar lagi jadi besan. Masih kaku aja, Pak Andri ini."
Ayah Andini—Pak Andri—tertawa renyah mendengar candaan dari orang asing itu.
Tetangga? Dulu? Memangnya pernah Andini punya tetangga seperti orang yang dipanggil Pak Direktur itu?
Andini lantas berdiri dan menoleh ke pemilik suara bass tersebut. Dia menunduk memberi salam, yang langsung dibalas oleh Pak Direktur dengan salam juga. Andini memang seperti pernah melihatnya, tapi kapan dan di mananya tidak bisa mengingat. Dia agak curiga dengan pemikirannya.
Andini dipersilakan duduk oleh Ayah setelah pak direktur duduk. Mereka makan malam seperti selayaknya cerita jaman dulu di kerajaan. Hening dan tenang. Tetapi di tengah perjamuan, dia mulai menyadari hal aneh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Deeper
Genç KurguUntuk Kakak tercinta _________________________________________ Masalah datang secara tiba-tiba di kehidupan Andini seperti hujan tanpa mendung. Bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Kedinginan, nyaris membeku. Reza, pemuda yang tak pernah dia kenal sebe...