Irvan memarkirkan mobil di garasi rumahnya. Dia turun setelah mematikan mesin dan lalu berjalan menuju kamar. Di perjalanannya yang terasa amat panjang tersebut—karena rumah ini terbuat hingga empat lantai, lantai ke empat adalah letak kamar Irvan—cowok itu kepikiran Andini.
Ia kembali melihat raut itu di wajah Andini. Raut yang sangat dia takuti. Raut dengan senyum lebar, raut cantik berkilauan, raut bahagia yang ditunjukkan secara tulus bukan karena Irvan. Dia takut suatu saat akan melihatnya. Ketakutannya diklarifikasi kebenarannya saat mereka berdua hendak pulang.
Irvan merogoh saku kemeja, dia mengeluarkan jam tangannya. Ya, cewek itu mengembalikan apa yang dia berikan. Sekali lagi, apa yang dia berikan. Ia berharap dengan adanya jam tangan darinya pada Andini, cewek itu bakal terus mengingatnya. Ternyata, semuanya sia-sia.
Irvan membuka pintu kamarnya. Dia langsung melempar tubuh ke sofa empuk di depan ranjang dan menyalakan televisi 64 inch di depannya. Irvan membiarkan televisinya meracau tanpa minat. Cowok itu malah tengkurap di sofa panjang dan menenggelamkan kepalanya ke dalam bantal.
"Gue harus lebih gencar menyerang sebelum hari itu tiba," Irvan berbicara sendiri. Dia berbalik, berbaring menatap langit-langit ruang kamarnya. "Sekarang waktu gue bener-bener sempit, bukan karena perjodohan. Tapi karena sebentar lagi, waktu bakal ngasih tahu kalau mereka bakal bersatu."
Irvan mendesah berat. Dia sangat tahu. Mungkin Andini belum menyadarinya, namun tak lama lagi dia akan sadar pada perasaannya sendiri. Lalu cowok itu? Ya, yang ia tahu adalah Reza tidak melihat Andini seperti orang lain, melainkan layaknya adik sendiri. Tetapi seiring berjalannya detik, cowok di manapun akan sadar bahwa kedekatannya dengan cewek lain yang bukan keluarga tidak dapat disamakan dengan perasaan sayang ke keluarga sendiri.
Irvan hanya punya waktu sampai saat cowok itu sadar, rasa sayangnya terhadap Andini bukan seperti yang dipikirkannya.
Lelah berbaring, Irvan bangkit untuk duduk. Dia kemudian berjalan mendekati kanvas dengan pigura hitam yang terpatri pada dinding ruangan. Dia mengelusnya lembut. "Gila. Gue beneran bisa gila kalau gini terus, Din." Irvan mengelus mata potret cewek itu, yang merupakan karya terbaiknya dari ratusan lukisan lain. "Mungkin udah saatnya gue jujur sama perasaan gue ke elo. Mungkin udah saatnya gue buka rahasia yang terkubur lama ini, ke elo. Mungkin gue harus segera bertindak sebelum waktu bicara, dan gue harus ngerelain elo."
Irvan mengambil napas dalam-dalam, menutup mata, meyakinkan diri akan tekad besar dalam dirinya. "Saat lo ketemu gue nanti, lo bakal ngeliat gue sebagai sosok yang berbeda, Din. Gue janji, gue bakal taklukin hati lo." Matanya mulai menajam penuh kehangatan saat menatap mata lukisan itu.
"Wow," sebuah suara tiba-tiba datang dari arah pintu. "What a good specch, you can be a politician, My boy."
Irvan kontan menengok dan mendapati seorang lelaki dewasa bersender di pintu sambil bersedekap dada. "Papa...," panggilnya lirih.
Lelaki yang dipanggil papa ini tersenyum setengah menyeringai. Ia melangkah tegap menuju sofa untuk mematikan televisi. "Kamu membuang banyak waktu seperti membuang banyak listrik," sindirnya sarkas. "Kenapa nggak nyerah saja, terus ikutin kemauan Papa?" tanyanya sambil membanting pantat di sofa. Satu kakinya dia naikkan ke kaki yang lain.
Irvan menahan napasnya yang memburu. Marah. "Irvan bisa tunjukin ke Papa kalau Irvan bakal dapetin hati perempuan yang Irvan pilih."
Papa menyungging senyum menantang. "Oh ya?" tanyanya. Tanpa menunggu Irvan menjawab, beliau sudah berucap lagi. "Tunjukin ke Papa kalau begitu. Papa kasih kamu waktu seminggu, karena minggu depan kamu sudah harus ketemuan sama calon istrimu."
"Ha?" Irvan geram. "Seminggu itu terlalu pendek, Pa!"
"Ssshh." Papa berdiri sambil jari telunjuknya menempel pada bibir. "Punya waktu atau tidak, laki-laki sejati selalu bisa dan yakin akan meraih yang mereka impikan."
"Tapi, Pa--"
"Dengar, Van." Suara tegas lelaki dewasa ini sukses membisukan Irvan. "kamu akan mewarisi segala milik Papa kelak. Kalau kamu tidak yakin dengan kemampuanmu, kalau kamu tidak bisa mengalahkan dirimu sendiri, kalau kamu tidak mampu mendapatkan hati satu orang, bagaimana caranya kamu memimpin ratusan ribu orang yang menggantungkan hidupnya di tanganmu, nanti?"
"Apa maksud Papa?" Irvan tidak mengerti.
Papa mendengus sambil tersenyum tenang. "Dasar anak bodoh yang cuma bisa menghayal," sindirnya. Lalu melanjutkan kalimatnya. "kamu baru saja menunjukkan kepada Papa bahwa kamu bisa mengalahkan dirimu sendiri. Sekarang Papa mau lihat apa kamu bisa meraih yang kamu inginkan di bawah tekanan waktu. Papa ingin lihat sebesar apa tekadmu. Selama seminggu, semua yang kamu perlukan akan Papa tanggung. Kamu bebas menggunakan kekayaan Papa." beliau menarik napas dalam-dalam.
"Jika kamu gagal, Papa ingin lihat keputusan yang kamu ambil di akhir peperangan." Senyum itu menyungging sempurna di bibir dengan kulit keriput yang menghiasinya.
"Bagaimana kalau Irvan berhasil?" tantang Irvan.
"Kamu menang. Kamu berhak atas apa yang kamu menangkan. Kebebasan hidup."
Irvan gantian menyeringai. "Kalau begitu aku pasti menang."
Papa tersenyum meremehkan. "Ya, berusaha dan berharaplah." Dia memutar badan dan keluar ruangan sembari menambahkan, "Ini cuma pengalaman Papa, tapi... langkah pertama selalu berat. Di tahap ini kamu harus rela dan berani meremukkan tulang sendiri hanya untuk tetap berdiri, bukan untuk menggapai suksesmu."
Papa menutup pintu.
Hening.
"Irvan rela mati di langkah pertama, Pa. Bukan untuk sekedar bertahan, tapi untuk menggapai yang Irvan inginkan," sumpah Irvan pada diri sendiri.
@@@@@

KAMU SEDANG MEMBACA
Deeper
Novela JuvenilUntuk Kakak tercinta _________________________________________ Masalah datang secara tiba-tiba di kehidupan Andini seperti hujan tanpa mendung. Bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Kedinginan, nyaris membeku. Reza, pemuda yang tak pernah dia kenal sebe...