Andini keluar dari pintu besar berbahan dasar kayu yang dicat hitam. Warna hitam di sana mengisaratkan bahwa di dalam ruangan tersebut tersembunyi seekor singa. Namun nampaknya setelah setengah jam berada di dalam, Andini senang-senang saja. Tampak jelas dari ujung bibirnya yang tertarik ke atas.
"Aaa, yes. Aku berhasil." Andini nyengir lebar sambil berlari kecil.
Reza menghentikan aktifitasnya memotong sayuran, dan menoleh lalu berputar hingga tubuhnya menghadap ke Andini. Tepat saat itu juga, Andini melompat untuk memeluk Reza.
Mata Reza mengerjap kala pelukan itu menyelimutinya dengan kehangatan. Semua pekerja di dapur ini—yang semuanya memakai seragam koki—menghentikan kesibukan masing-masing, sejenak menyaksikan sejoli yang sedang berbahagia.
"Aku berhasil, Za. Aku diterima kerja di sini. Yeayy." Andini mengombang-ambing tubuh Reza seperti dia sedang memeluk guling di kamarnya sendiri. Tak sadar dia bukanlah memeluk guling, apalagi berada di kamarnya. Andini bahkan menenggelamkan muka di antara bahu dan tengkuk cowok itu, kemudian menjerit di sana. "Aaa, aku seneng banget!"
Reza mengerutkan kening. Tangannya tergerak sampai di punggung cewek itu. Dia berniat menepuk punggungnya lalu mengelusnya pelan, tetapi setelah melihat seringai jahil dari koki senior dari sudut matanya, Reza tak jadi melakukannya.
Alih-alih membalas pelukannya, Reza memilih menepuk kedua pundak Andini lalu menarik mundur, pelukan itu terlepas.
Andini langsung tersadar yang baru saja dilakukannya kelewat batas. "Ah, sori. Aku berlebihan ya?"
Lalu suara cekikikan dari berbagai ujung ruang masak itu menjadikannya sebuah jawaban. Andini menunduk kian dalam. Pipinya merona dan jantungnya serasa digoreng dengan suhu lebih dari 50 derajat celcius. Hancur hayati, malu banget!
"Balik sana, Irvan udah nungguin," Reza berkata datar. Andini langsung mendongak.
"Eh iya." Sebetulnya dia menyesal mengajak Irvan ke sini. Coba kalau tidak ada dia, pasti momen seperti ini bisa bertahan lebih lama lagi. Tapi dia juga senang dengan adanya Irvan. cowok itu sudah banyak membantunya. "Aku balik dulu ya, Za. Makasih udah izinin aku ketemu sama Manager kamu."
Reza tersenyum simpul. Sangat tipis hingga nampak tiada ketulusan.
Biarin lah. Reza senyumnya memang nggak pernah lebar, tapi rasanya nusuk sampai lapisan hati terdalam. Hihihi. Mulai deh, gajenya Andini.
Andini keluar dari ruang masak setelah berpamitan dengan Reza. Tak lupa dia juga menjabat tangan para orang di sana untuk sekadar berkenalan. Nantinya mereka akan berkerja sama, so... itu lebih baik dia lakukan sedini mungkin, bukan?
Selepas kepergian Andini. Senyum Reza yang tadinya hanya selurus penggaris kini mekar hingga kedua pipinya membentuk kawah dalam. Tangannya juga tanpa diaperintahkan mulai menggaruk kepala, padahal dia tidak merasa gatal.
Seorang koki senior menyenggol rusuk Reza pelan. "Ingat, Za. Di sini pegawai nggak boleh saling jalin hubungan. Kalau mau dibolehin," Jeda sejenak sembari mengangkat alis dua kali. "ada pajaknya. Hehe."
Kemudian sorak-sorai jahil berseru.
"Apaan sih, Kang," Reza berdalih. Dia memutar badan, mengambil pisau dan memotong kembali sayuran di atas meja. Untuk kali pertama, Reza terlihat bukan seperti dirinya.
Sikap itu membuatnya semakin di-bully.
@@@@@
"Nih, gue balikin," Andini memulai percakapan dengan Irvan di dalam mobil.
Mereka baru saja keluar dari retoran sea food itu, langsung menuju basement dan masuk ke mobil Irvan. Tak mau menunggu lama karena Irvan sepertinya sudah puas dicubit pipinya sampai merah, Andini lantas mengambil inisiatif lebih dulu.
"Ini, Van. Ambil."
Irvan yang tadi mengelus pipinya yang merah itu mendesah berat. Berdecak samar. "Simpen dulu aja kali, siapa tahu lo butuh nantinya."
Andini menggeleng. "Nggak. Gue udah bersyukur lo temenin ke sini. Gue udah dapat kerjaan dan bisa bertahan di sekolah nantinya. Gue nggak mau berhutang, takutnya nanti gak bisa bayar."
Irvan menatap Andini sejenak. Berpikir. "Tapi—"
"Ihh, susah amat sih." Andini menarik tangan Irvan dan memberikan jam tangan pinjamannya. "Pegang aja sama lo dulu. Nanti kalau ke depannya gue butuh, gue langsung pinjam ke elo. Oke kan?" Andini menunjukkan jembolnya.
Irvan kini hanya dapat pasrah. "Oke deh." Dia menyaku jam tangan itu ke kemeja putih osisnya dengan perasaan berat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Deeper
Teen FictionUntuk Kakak tercinta _________________________________________ Masalah datang secara tiba-tiba di kehidupan Andini seperti hujan tanpa mendung. Bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Kedinginan, nyaris membeku. Reza, pemuda yang tak pernah dia kenal sebe...