Irvan melongokkan kepalanya dari balik pepohonan. Aroma khas tanah liat dan bunga lara itu menusuk rongga penciumannya. Dia hanya bisa mematut diri memandang cowok tinggi di sana dengan penasaran. Nisan-nisan berjejer dengan rapih. Tempat ini adalah tempat tangis tertumpah ruah, dan doa-doa terpanjat khusuk.
Sepulang sekolah Irvan sudah berniat melakukannya. Dia tidak ingin melihat Andini bersedih lagi. Karena tidak menemukan cowok itu di sekolah, tetapi malah bertemu di jalan, akhirnya dia membuntutinya dan sampailah ia di sini.
Irvan melihat cowok itu menoleh ke arah pohon tempatnya bersembunyi. Irvan lantas menarik kepalanya supaya tidak ketahuan. Irvan ingin keluar, langsung mengatakan permintaan maafnya dan pergi, namun tempat ini membuat rasa penasarannya tumbuh dan memutuskan untuk menunggu.
Samar dia dengar suara cowok itu berkata, "Saat aku melihatnya, aku seperti melihatmu."
Irvan lantas mengerutkan kening. Apa dia sedang berbicara dengannya?
Irvan melongok kembali. Mengintip dengan hati-hati. Ternyata Reza tidak sedang memandang pohon tempatnya bersembunyi. Mata cowok itu menatap batu nisan di hadapannya dengan lirih.
"Kukira saat itu adalah ujian dari Tuhan untukku yang sudah gagal melindungimu, tenyata aku salah," ujar Reza lagi masih menatap nisan. "Dia lebih beruntung karena punya sahabat yang melindunginya."
Telinga Irvan berkedut, da merasakan dirinya masuk dalam pembicaraan Reza.
"Dia sangat beruntung. Dia pantas mendapatkannya. Aku tidak akan lagi ikut campur."
Irvan melihat Reza membuka tas, mengambil bunga dan menaburkannya di atas makam lalu dia berkata lirih, "Selamat jalan. Maafkan aku yang gagal melindungimu." Reza berdiri tegap selanjutnya. Dia memejam mata, mungkin sedang berdoa.
Kini adalah kesempatan Irvan muncul.
Cowok itu sepertinya telah selesai berdoa. Dia menutup resleting tas lalu berbalik, dan kelihatan terkejut meskipun samar saat menyadari Irvan ada di belakangnya. Irvan sendiri ingin tersenyum sekadar menyapa, namun ulahnya pagi tadi membuat lidahnya kelu dan bibirnya membeku. Dia hanya balas menatap Reza datar.
"Yo, Za." Akhirnya Irvan berhasil setelah susah payah mencoba.
"Van." Angguk Reza.
Irvan memiringkan kepalanya ke kiri, mencoba mencari tahu nama yang tertera di nisan belakang Reza. Saat dia menemukan namanya, Reza kian jadi tidak enak hati. "gue turut berduka, Za."
"Makasih," balas Reza tenang. Dia hendak melangkah pergi namun Irvan mampu membatalkan niatnya.
"Gue minta maaf," ucapnya tulus. "soal yang tadi pagi."
Reza menoleh ke irvan. dia ingin berkata sesuatu namun tidak jadi. Hanya terpekur di sana beberapa saat karena bingung kenapa cowok itu meminta maaf. Semua ini memang ulahnya, bukan?
"Lo boleh pukul gue sebagai ganti yang tadi pagi, juga sebagai tanda lo maafin gue, Za." Irvan mendekat.
Reza mengangkat tangannya rendah, memberi isyarat agar Irvan tidak melangkah lebih jauh dari tempatnya. Reza kemudian mendesah berat. "Udahlah, gak perlu. Gue udah maafin semuanya sebelum ini terjadi."
Reza mengangguk untuk pamit. Irvan mengulum senyum bersahabat dan membiarkan cowok itu menjauh darinya. Sebetulnya dia ingin menahan Reza. "Saat melihatnya, aku seperti melihatmu." Kalimat Reza di awal tadi membuatnya ingin bertanya lebih.
Irvan mendekati nisan yang nampak masih baru tersebut. Dia mengeja nama yang tertera di sana pelan. Dan mengetahui kalau Andini mungkin mirip dengan almarhum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Deeper
Genç KurguUntuk Kakak tercinta _________________________________________ Masalah datang secara tiba-tiba di kehidupan Andini seperti hujan tanpa mendung. Bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Kedinginan, nyaris membeku. Reza, pemuda yang tak pernah dia kenal sebe...