Chapter 8

10.2K 1.1K 139
                                    

semua manusia yang hidup selalu berubah pikiran

-x-



"Anak sialan itu benar-benar..." Sena mendumal rendah seraya berderap menuju kafe. Dua hari terakhir, Sehun tidak bisa dihubungi. Ponselnya aktif, tapi ia tidak menjawab telepon. Belum lagi, Sena menyadari tidak ada satu pun barang-barang Sehun tertinggal di kamarnya. Jelas si jelek itu memang sengaja pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Kalau ibunya sampai tahu, Sena pasti mati.

Sena melewati pintu kafe dan mendapati tempat itu nyaris dipadati seluruhnya oleh gadis-gadis. Ia baru ingat, malam ini jadwal tampil Luhan dan bandnya.

Sena berjalan ke ruangan di dalam kafe. Selain Luhan, semua anggota band ada di sana, sedang sibuk dengan instrumen masing-masing dan berlatih sendiri dalam diam. Ketika Zitao mengangkat wajah dari bass-nya dan melihat Sena di ambang pintu, alih-alih menyapanya seperti biasa, ia berdiri dari sofa dan menghampirinya.

"Lu-ge di halaman belakang. Dia sedang menyedihkan sekali, suasana jadi tidak bagus. Kau bisa bantu dia?" bisik Zitao kaku, lalu menambahkan sesuatu dalam bahasa Mandarin yang tentu saja tidak Sena pahami, tapi melihat wajahnya, mungkin maksudnya 'aku sudah mencoba, tapi tidak berhasil'.

Sena mengangguk. Zitao menepuk bahunya, lalu Sena beranjak ke halaman belakang.

Baiklah, sebenarnya bukan halaman. Pintu belakang kafe terbuka ke arah jalanan sempit yang gelap dan agak berbau tidak sedap karena di sanalah tempat sampah kafe, butik, dan restoran-restoran berada. Sena melihat Luhan duduk di tangga, mengepulkan asap dari sebatang rokok. Baiklah, urusan Sehun bisa menunggu sebentar. Ia mendekat dan duduk di sebelahnya. "Hei."

Luhan tersentak kecil dan menoleh. "Oh. Hei."

"Aku sudah dengar soal kau dan Jimin," Sena tidak pernah bagus berbasa-basi, jadi ia langsung saja. "Omong-omong, bisa kau buang itu? Mengganggu pernapasanku."

"Maaf," Luhan melempar rokoknya ke jalan. Baranya padam dalam genangan air kotor.

"Bukankah kau sudah berhenti merokok?"

"Tadinya."

"Karena Jimin tidak lagi berada di sekitarmu untuk mengomel, kau mulai lagi."

Luhan tidak mengiyakan maupun membantah pendapat Sena. Selama beberapa saat mereka duduk diam, lalu Luhan sendiri yang menyentuh topik itu, "Aku tidak tahu apa saja yang Jimin ceritakan padamu, tapi keadaannya tidak seperti yang dia bayangkan."

Sena menatapnya. "Ceritakan."

"Gadis itu, Dayoung, Dahyun, siapalah namanya." Luhan berdecak, berhenti berusaha mengingat. "Dia salah satu penonton yang datang ke pertunjukan band. Satu malam setelah pertunjukan, dompetnya hilang di kafe, jadi dia tidak bisa pulang. Saat itu sudah tengah malam dan bus terakhir sudah lewat. Aku menawarkan untuk mengantarnya. Benar-benar hanya itu."

"Dari mana dia tahu nomor ponselmu?"

"Aku meminta nomornya lebih dulu. Kubilang padanya aku akan mengabarinya kalau dompetnya ditemukan. Yah, lalu dompetnya ketemu dan aku meneleponnya agar dia datang mengambilnya. Itu hanya pesan terima kasih. Aku tidak menduga Jimin akan membacanya dan meledak sebelum aku sempat menjelaskan apa-apa."

"Siapapun akan begitu jika mencintai seseorang seperti dia mencintaimu. Dia marah karena dia takut kehilanganmu." Entah kenapa, Sena mendadak teringat pada Sehun karena perkataannya sendiri. "Kenapa kau tidak menemuinya saja?" tanyanya.

"Kupikir dia butuh waktu untuk berpikir. Dia tidak akan mau mendengarkanku sekarang, saat dia sedang benar-benar marah." Luhan merogoh saku jinsnya dan mengeluarkan bungkus rokok, tapi saat tidak sengaja melirik Sena, ia seperti baru ingat dan kembali menyimpannya. "Aku akan menunggu sampai dia mau bicara padaku. Saat itu, aku baru bisa menjelaskan padanya."

All-Mate911Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang