jangan percaya kebetulan—pokoknya jangan
-x-Chanyeol menyadari bahwa bertemu Sandara adalah keputusan yang salah. Masalah yang sedang dihadapi sepupu jauhnya itu malah mengingatkannya pada masalahnya sendiri.
Jadi sepertinya malam itu Chanyeol menghabiskan waktu untuk bosan dan merana mendengarkan Sandara bercerita tentang pernikahannya yang tersandung restu orangtuanya. Oh, ya ampun, apakah seluruh keluarga Park selalu bermasalah dengan hubungan romantis? Pertama ia dan Sena, lalu sekarang Sandara dan calon suaminya.
Karena merasa senasib sepenanggungan, Chanyeol berusaha sebaik mungkin menjadi pendengar dan pemberi saran yang baik. Tapi tamu di ruangan sebelah yang ribut bukan main itu benar-benar membuatnya sulit berkonsentrasi. Demi Tuhan, apakah tidak ada ketenangan sama sekali di tempat ini?
Chanyeol mengira keributan itu berhasil membuatnya gila, karena ia tidak hanya mendengar suara Sena entah dari mana, ia bahkan melihatnya.
Lalu ia sadar bahwa ini bukan imajinasi.
Nantinya, Chanyeol tidak bisa mengingat jelas bagaimana keajaiban ini (benar, keajaiban) bisa terjadi. Ia hanya ingat, ketika Sena berseru dengan lantang, "Kau mau menikah? Oke, ayo kita menikah!" dunianya mendadak jungkir balik, lebih seru daripada dunia fantasi.
Siang hari sebelum janji makan malamnya dengan Sandara, Chanyeol baru saja mengambil cincin yang sudah dipesannya jauh-jauh hari. Masa bodoh dengan saran Baekhyun kau-harus-bersikap-berjarak-untuk-membuatnya-tertarik. Chanyeol tidak ingin mengambil risiko kehilangan gadis itu karena omong kosong yang konyol itu. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi sekarang, sepertinya omong kosong itu ada benarnya juga. Dan, bahwa ternyata memesan cincin benar-benar membawa peruntungan baik.
"Oke, ini cincinmu. Ayo kita menikah."
Jadi, begitu saja. Chanyeol bahkan tidak perlu menyiapkan kalimat panjang khas novel roman, atau berpose norak ala pangeran negeri antah berantah.
Mungkin tidak semua hal butuh rencana spesial untuk menjadi spesial.
***
Sena berharap saat ia bangun tidur, semua ini hanya mimpi konyol. Tapi cincin sialan itu masih di jari manis kirinya, adegan di restoran semalam masih jelas di kepalanya, dan ia (sepertinya) masih akan menikah.
Gawatnya, cincin itu tidak bisa dilepas. Sena tidak tahu apakah cincin itu terlalu kecil atau jarinya yang terlalu bulat, yang jelas ia sudah mencoba menariknya dari jarinya dan menggosoknya dengan sabun mandi dan sampo sepanjang hari tanpa hasil. Tangannya malah memerah seperti kena alergi—yang memang benar, Sena alergi pada kata menikah, cincin, Chanyeol, dan hal-hal sejenis.
Saat Jimin mampir sore harinya, Sena masih mencoba melepas cincin itu dengan melilitkan handuk di jarinya.
"Bahkan jarimu bersekongkol untuk melawanmu," komentar Jimin. "Sudahlah. Terima saja nasib baikmu, dasar tolol. Tolol dan tidak tahu diri."
"Kalau kau tidak bisa membantu, lebih baik tutup mulutmu," dumal Sena dengan suara menggumam. "Aish, ini tidak bisa juga. Rasanya sedikit lagi jariku akan putus."
Jimin tidak bisa tidak tertawa melihat tampang merana Sena. "Ini tidak terlalu buruk. Malah, ini baik sekali. Maksudku, akhirnya kau tidak akan mati seorang diri."
Sena melempar handuk di tangannya ke muka Jimin kuat-kuat. Yang dilempari menghindar dengan mudah dan tertawa culas.
"Apa sebaiknya aku pindah dari sini?" tanya Sena, lebih pada dirinya sendiri. "Ke luar kota? Atau ke luar negeri sekalian? Apa Zitao bisa menyembunyikanku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
All-Mate911
FanfictionKata siapa kau tidak bisa membeli teman? All-Mate911 dipersembahkan untuk orang-orang yang kesepian, anti-komitmen, atau sekadar kelewat sibuk untuk mencari teman (atau mungkin tiga-tiganya). Di sini, kau bisa memilih penyedia layananmu sendiri da...