Chapter 6

10.8K 1.2K 154
                                    

bagaimana kau tahu jika kau sedang jatuh cinta?

-x-

"Apakah kau sedang menunggu kabar dari seseorang?"

Sena mengangkat wajah dan mengerjap menatap Jimin. "Tidak." Ia menggeleng bingung. "Kenapa?"

"Kau terus-terusan mengecek ponsel sejak tadi," kata Jimin, mengedikkan bahu ke arah tas Sena yang teronggok di pangkuannya.

Sena mengeluarkan kedua tangannya yang terkubur di dalam tas. "Tidak," elaknya. "Aku hanya menunggu pekerjaan."

Jimin mendengus sinis. "Kau bisa membohongi semua orang, tapi kau tidak bisa membohongiku," katanya. Ia mengangkat cangkir kopinya dan menyesap cappuccino-nya sedikit. "Kupikir setelah Sehun bekerja di sini, kau akan berhenti dari All-Mate."

Dari sudut matanya, Sena melihat Sehun sedang mencatat pesanan dari meja di dekat pintu masuk kafe. "Tentu saja tidak. Aku tidak mungkin bergantung padanya, oke?" balasnya. "Dan, astaga, kau harus berhenti menatap bokong adikku."

Sehun memungut pulpen yang ia jatuhkan saat ia akan memasukkannya ke saku apron hitamnya dan Jimin tidak berusaha menutupi ketertarikannya ketika Sehun menunduk. Sena heran bola mata Jimin tidak sampai melompat keluar dari rongganya sekalian.

Mata Jimin masih mengikuti Sehun sampai menegakkan punggung dan berjalan menuju konter barista. "Kau tahu, Sehun bisa menghasilkan banyak uang dengan jadi model. Maksudku, lihat kaki-kaki jenjang dan postur tubuhnya."

Sena sekuat tenaga menahan dorongan untuk muntah. "Bagaimana dengan Luhan? Maksudku, benar, Sehun memang menarik," mulutnya terasa pahit ketika mengatakannya, "tapi apakah bokong rata Luhan sudah kehilangan daya tariknya?"

Jimin mengalihkan pandangan dari Sehun untuk memberi tatapan membunuh pada Sena. "Apa kau buta? Bokongnya tidak rata. Dia berolahraga rutin. Segalanya padanya sempurna."

Sena tidak yakin mana yang lebih buruk, Jimin memandangi Sehun dengan tatapan ingin atau Jimin membicarakan bagian tubuh Luhan yang sama sekali tidak ingin Sena ketahui.

"Lagipula," tambah Jimin dengan nada sambil lalu seraya kembali mencari Sehun, "Oh Sehun sudah mencurahkan perhatiannya pada orang lain."

Sena memutar bola matanya. Jimin masih bersikeras dengan teorinya bahwa Sehun diam-diam mencintainya berapa kali pun Sena memberitahunya bahwa itu konyol.

Tepat ketika Sehun menoleh ke arah mereka berdua duduk, Sena mendengar ponselnya berdering. Ia buru-buru merogoh benda itu dari dalam tas, hanya untuk mendapati ponsel pribadinya yang berbunyi dan ibunya-lah yang menelepon.

"Halo?" jawab Sena malas, karena ia sudah tahu apa yang ingin ibunya bicarakan.

"Ya, Sena-ya," ibunya di seberang sana memanggilnya dengan suara mendesak. "Di mana Sehun?"

"Sedang bekerja."

"Apakah dia masih berkeras tidak mau pulang? Sudah hampir dua minggu dia di sana. Ayahnya uring-uringan, membuatku sakit kepala."

Sena menghela napas berlebihan. "Kenapa Eomma tidak bicara padanya langsung saja?"

"Aku akan melakukannya seandainya dia mau menjawab teleponku," balas ibunya. "Kau tahu sendiri bagaimana keras kepalanya dia jika sudah memutuskan sesuatu."

"Lalu aku harus apa? Menyeretnya pulang ke rumah? Eomma, dia sudah cukup dewasa untuk memutuskan apa yang ingin dia lakukan."

"Jadi kau akan membiarkannya tinggal terus di tempatmu sampai kapan?"

All-Mate911Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang