Raya
Aku mendorong troli mendekati sebuah pintu putih dengan hendel besar berwarna emas. Di pintu itu tergantung nomor 5080. Aku mengetuk pintu itu tiga kali dengan jarak waktu satu detik antara setiap ketukan dan menunggu sepuluh detik untuk mengetahui respon dari dalam ruangan. Saat tidak ada respon, aku mengulanginya lagi. Setelah sepuluh detik kembali berlalu dan masih tidak ada respon, aku mengeluarkan kartu akses dari saku seragam dan menempelkannya di sensor. Tek. Suara itu menandakan kunci pintu sudah terbuka.
Aku pun membuka pintu perlahan-lahan. Lalu saat pintu itu akhirnya terbuka... Subhanallah.
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak melarikan pandangan ke sekeliling ruangan. Sumpah! Kamar ini keren banget!
Di sebelah kanan, tidak jauh dari pintu, ada tangga kayu bergaya minimalis yang langsung menghubungkan lantai tempat aku berdiri dengan lantai atas. Aku tidak tahu di atas ada apa. Tapi dari sini, terlihat ada sebuah pintu di lantai atas yang terhubung dengan teras. Pintu itu terbuka, tapi ditutupi dengan gordyn tipis yang tertiup-tiup angin.
Lalu perhatianku pun teralihkan saat mataku menangkap bayangan sebuah jendela yang luar biasa besar dan sangat mengundang untuk di dekati. Tanpa terasa, kakiku begerak sendiri menapaki langkah menuju jendela yang memamerkan indahnya pemandangan cahaya matahari yang bersinar di balik gedung-gedung ibukota itu. Aku tidak bisa menahan senyum saat melihatnya. Namun, tiba-tiba...
"Ngapain kamu di situ?" ujar sebuah suara yang berat dan kasar.
Aku langsung mendongak mengikuti arah suara itu dan... Ooo... Mai... Gat! Hanya kata itu yang bisa kupikirkan saat melihat pemiliknya.
Seperti suaranya yang laki banget, makhluk adam yang berdiri di atas balkon dengan sweater hitam yang lengannya ditarik sampai siku dan celana pendek berwarna khaki itu terlihat super duper maskulin. Di hidungnya pun bertengger kacamata full-frame yang senada dengan pakaiannya.
Laki-laki itu menatapku tajam. Meski dia di lantai atas dan aku di lantai bawah, aku tetap bisa merasakan pandangannya yang menusuk, membuat aku diam tak berkutik.
Aku terkesima dengan pemandangan itu sampai dia pun berdecak kesal dan detik selanjutnya, dia menghilang dari balkon. Tidak lama kemudian, suara kaki beradu dengan kayu terdengar mendekat. Aku pun mengarahkan pandanganku ke tangga dan ternyata laki-laki itu sedang melangkah turun sambil ngomel.
Aku mendengar suaranya, tapi tidak sadar apa yang dia bicarakan. Aku masih terpesona dengan mata tajam yang dipayungi alis tebal, hidung mancung, dan bibir tipis yang berpadu dalam satu wajah dengan rahang yang kokoh itu. Apalagi bulu-bulu halus yang terpelihara rapi dan tak lebih panjang dari dua atau tiga mili yang menghiasi sekitar bibir dan bagian bawah wajahnya itu.
"Telinga kamu rusak ya? Denger nggak dari tadi saya bilang apa?" ujar laki-laki itu lagi.
Aku langsung sadar. Ih! Kasar banget ini cowok!
"Maaf, Pak. Saya mau bersihin jendela." jawabku akhirnya.
"Begitu? Tapi kok peralatannya ditinggal?" balas laki-laki itu dengan mata tertuju pada troli di depan pintu.
Aku baru akan menjawab saat suara dering telepon terdengar. Laki-laki itu pun langsung mengambil ponsel di meja kopi dan menjawab panggilan itu. Sementara itu, aku langsung bergerak secepat mungkin mendekati troliku dan segera mulai beres-beres.
Fiuh.... Semoga lama. Amin.
>>>
William
KAMU SEDANG MEMBACA
Elmo & Prince Charmington
Lãng mạnWilliam Wijanarko. Laki-laki kaku berkarakter kuat dan dominan, serta tampan dan mapan. Terlahir sebagai pewaris utama dari kekayaan keluarga Wijanarko, keluarga konglomerat yang tidak pernah keluar dari urutan lima teratas keluarga terkaya di Indon...