15. Regrets

1.5K 143 9
                                    

Raya

Kedua mataku terbuka perlahan-lahan dan suara kicauan burung pun tertangkap indera pendengaranku. Butuh beberapa detik sampai pandanganku bisa fokus dan sosok hitam yang memancarkan cahaya kekuningan di belakang punggungnya itu terlihat di sisi tempat tidur.

Kaget, aku pun menjauh. Namun lama-lama wajah orang itu terlihat semakin jelas. Semakin lama, semakin terlihat juga kalau dia sedang tersenyum padaku.

"Pagi," ujarnya dengan lembut.

Aku terpaku memandangi wajahnya.

Aku baru sadar kalau laki-laki ini nampak begitu tirus dan tidak terawat. Janggut dan kumis yang melingkari bibirnya dibiarkan tumbuh liar dan berantakan. Begitupun rambutnya yang gondrong dan awut-awutan. Belum lagi kedua mata laki-laki itu juga nampak merah dan sedikit bengkak.

"Udah enakan?" tanya William sementara aku berusaha duduk.

Suara laki-laki itu terdengar sumbang. Pandangan ku pun langsung terarah padanya.

"Kamu sih... Disuruh makan nggak nurut. Di infus kan jadinya. Tapi kamu gimana? Udah nggak pa-pa kan?" katanya sambil berusaha tersenyum.

Aku menatapnya dengan sedih.

Aku tahu William tidak baik-baik saja. Kenapa dia harus berusaha terlihat seceria itu? Astaga, aku ingin sekali memeluknya.

"Kamu kenapa?" tanya William, khawatir.

Ia pun mengulurkan tangan untuk menyentuh pipiku. Aku hanya akan membiarkannya. Tapi tiba-tiba saja dia berhenti dan menurunkan tangan lagi. Seketika itu pun wajahnya terlihat sedih.

"Kamu nggak mau saya ada di sini ya?" ujarnya kemudian.

Dadaku serasa pilu. Tanpa bisa kukendalikan, setetes air membasahi pipiku.

William pun tersenyum getir.

Aku tidak pernah menyangka hal itu akan terasa semenyakitkan ini. Aku ingin menyentuh pipinya, membuatnya tersenyum lagi, mengatakan padanya kalau semua akan baik-baik saja. Tapi aku mematung. Aku tidak bisa.

Entah kenapa jadi begini. Aku tidak yakin lagi dengan apa yang aku inginkan. Apakah aku ingin dia kembali atau ingin lepas darinya. Padahal tadinya keputusanku sudah bulat. Tapi sekarang? Aku tidak tahu.

Lalu tiba-tiba saja William tersenyum. Aku menatapnya dengan heran. Dia pun meraih tanganku dan meremasnya dengan lembut. Kemudian ditatapnya aku lekat-lekat.

"I have a big news for you. The good one." ujarnya sambil tersenyum.

Aku membalas tatapannya dengan mata buram. Melihat dia memaksakan diri untuk terlihat bahagia seperti ini terasa begitu menyesakkan.

"I... umm... I'm... um..." William nampak kesulitan mengutarakan pikirannya sampai-sampai dia tersedak ludahnya sendiri. Sementara itu, aku hanya memandanginya dalam diam.

"I'm...."

William pun menarik nafas dalam-dalam.

"I'm letting you go." ujarnya akhirnya dan hatiku pun hancur menjadi debu.

Aku tahu hanya itu hal yang kuinginkan selama beberapa hari terakhir. Tapi kenapa ketika akhirnya aku mendapatkannya, aku malah merasa sehancur ini?

"Saya begini bukan karena saya nggak cinta lagi sama kamu atau karena saya bosen sama kamu. Tapi karena saya sadar, kalo yang terbaik buat kamu adalah dengan nggak ada di deket saya." ujarnya dengan suara serak.

Elmo & Prince CharmingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang