13. Kalah

1.5K 160 7
                                    



Raya

Sejak hari itu, aku tidak pernah merasakan ketenangan lagi. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, sekujur badanku penuh dengan kewaspadaan. Mentalku terkesiap setiap saat, penuh dengan antisipasi. Tidak ada waktu yang tak kulewatkan tanpa mengira-ngira rencana apa yang dipersiapkan oleh laki-laki itu. Aku merasa konyol sendiri karena setiap hari aku seperti menunggu 'kejutan' darinya. Akan tetapi, sebaliknya, semuanya malah berjalan dengan biasa saja.

Hal itu tidak serta-merta membuat aku mengendurkan kewaspadaan. William masih berkeliaran di Ruby Resort. Meskipun dia tidak pernah memaksa bertemu seperti saat di Plaza Hotel dulu, tapi tetap saja aku sering sekali bertemu dia. Terlalu sering. Dan aku cukup pintar untuk tahu kalau itu semua bukan kebetulan. Entah bagaimana ceritanya, William pasti yang merekayasa pertemuan-pertemuan itu. Tapi tidak seperti kemarin, dia tidak pernah minta waktu berdua denganku lagi. Alih-alih demikian, dia malah terlihat seperti rekan kerja pada umumnya yang hanya bicara tentang pekerjaan, tidak lebih. Terus kenapa dia harus mengancam aku kalau ujung-ujungnya dia ikut menjauh juga?

Awalnya aku pikir itu jebakan. Bisa saja nanti tahu-tahu dia melakukan suatu tindakan yang tak terduga. Namun, setelah dua minggu berlalu dan ternyata masih tidak terjadi apa-apa, aku mulai berpikir mungkin ancamannya kemarin itu cuma usaha pembelaan harga dirinya yang setinggi langit.

Meski lumayan lama, tapi akhirnya aku bisa tenang lagi. Apa lagi setelah aku dapat instruksi untuk datang ke pelatihan selama tiga hari di Surabanya. Aku jadi semakin yakin kalau William tidak akan melakukan apa-apa.

Sekarang tiga hari itu sudah berlalu. Aku melangkahkan kaki keluar dari lift menuju lorong yang mengarah ke kantor. Seperti biasa, suara sepatu pump yang mengetuk-ngetuk lantai marmer memenuhi ruangan seiring dengan langkah yang kupijakan.

Aku mengarahkan kaki ke ruangan berbatas dinding kaca itu dan pintu sensorik pun terbuka saat aku berjalan mendekat. Aku melempar senyum ke resepsionis yang kemudian dibalas dengan tatapan bingung. Aku tidak ambil pusing dengan itu dan terus melangkah ke bagian dalam kantor. Namun dahiku mengerut heran saat menemukan tatapan yang sama datang dari hampir semua orang yang melihatku di dalam sana.

Aku jadi salah tingkah. Dengan ragu, aku pun berjalan menuju ruanganku. Saat itulah aku melihat Ririn yang sedang sibuk merapikan meja kerjanya. Aku tidak mau mengganggu. Aku pun hanya mengetuk-ngetuk mejanya sambil lalu untuk menandakan kalau aku sudah datang. Tapi diluar dugaanku, dia langsung mendongak dan menatapku dengan kaget. Reaksi yang wajar. Namun, pada saat pandangannya berubah jadi tatapan heran, aku pun tidak bisa bilang kalau aku tidak ikut heran. Ada apa sih dengan orang-orang hari ini?

Aku memutuskan untuk melanjutkan langkah ke ruanganku. Tapi saat aku mengalihkan pandangan ke dinding kaca di belakang meja Ririn, keherananku semakin menjadi.

Kok tirai ruangan itu ditutup? Aku selalu membiarkan tirai itu terbuka. Kecuali kalau aku lagi mumet-mumetnya dan lagi mirip-miripnya sama babu. Jadi bagaimana...? Apakah ada orang lain yang...? Ah, sudahlah!

Aku mendorong pintu kaca itu dan melangkah memasuki ruangan. Saat aku akhirnya menginjakan kaki di dalam, mataku melotot sejadi-jadinya.

Kemana semua barang-barangku?

Aku langsung melempar tas dan blazer di tanganku ke sofa. Kemudian, dengan cepat aku berjalan ke arah meja kerja. Kuperiksa semua laci dan lemari di meja itu dan rak buku di belakangnya. Tapi nihil. Semua barang pribadiku, foto, dan berkas-berkas, semuanya hilang. Aku pun memeriksa seluruh sisi ruangan. Siapa tahu orang yang tidak ada kerjaan itu hanya memindahkan barang-barangku ke kotak dan meninggalkannya di suatu tempat di ruangan ini. Tapi lagi-lagi, nihil.

Elmo & Prince CharmingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang