11. This is The End

1.4K 149 6
                                    

Raya

Tok tok tok tok...

"Ray, ayo kita makan."

Aku tidak menjawab.

Tok tok tok tok...

"Ray, kamu harus makan. Ini udah dua hari. Nanti kamu sakit."

Aku tidak menghiraukan Bule dan makin membenamkan wajahku yang basah pada guling di pelukanku. Tanpa bisa kukendalikan, aku menangis lagi.

"Bapak meninggal, Ray." suara Ojong yang menelponku malam itu masih menggema di kepalaku.

Entah bagaimana aku akan melupakannya. Sampai sekarang saja rasanya masih sulit untuk dipercaya.

Begitu mendengar berita itu, aku langsung tidak kepikiran apa-apa lagi selain aku harus tiba di rumah sakit secepatnya. Air mata dan suara rengekan ku pun keluar begitu saja mulai dari saat aku meninggalkan griya tawang dan berlarian di parkiran untuk mencari Rosalinda.

Di jalan pun aku kesulitan untuk fokus karena mataku buram melulu, tak peduli seberapa seringnya aku mengelap mata. Kemudian sampai di rumah sakit, aku parkir Rosalinda di tempat terdekat yang bisa kutemukan. Setelah itu, aku langsung berlari ke kamar Bapak.

Ketika aku sampai di depan kamar, aku pun mengulurkan tangan untuk membuka pintu. Tapi tanganku gemetar hebat. Air mataku juga banjir. Aku merasa bagian dalam diriku hancur. Tidak tahu lagi bagaimana penampilan luarku.

Aku perlu menenangkan diri selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk buka pintu. Semua orang yang ada di ruang ICU itu pun langsung menoleh padaku saat aku melangkah masuk. Lemas, aku berusaha mendekati Bapak yang sudah pucat. Masih dengan perasaan sedih yang meluap-luap, aku menyentuh tangannya dan aku kaget sendiri begitu menyadari tangannya terasa sangat dingin. Tubuhku langsung ambruk. Untungnya Ojong cukup sigap untuk menangkapku.

Perjuangan selama delapan tahun, semuanya sia-sia. Aku kehilangan rumah tempat aku tumbuh dewasa dan sekarang aku malah kehilangan Bapak juga. Kenapa semuanya harus terjadi pada saat yang sama sih?

Aku pun membuka mata dan menjauhkan wajah dari guling. Mata ku pun terarah pada langit-langit kamar. Aku harap ingatan itu tidak tergambar terlalu jelas saat aku membuka mata, tapi percuma saja. Aku pun menangis lagi. Biasanya, aku selalu berusaha menyembunyikan perasaanku. Tapi tidak hari ini. Aku menangis keras-keras seperti bayi. Hidungku sampai mampet, tapi aku tidak bisa berhenti. Bodo amat deh mereka yang ada di luar kamar ini mau dengar atau tidak. Aku cuma mau menangis.

>>>

William

Ting ting ting... ting... "Panggilan bagi penumpang maskapai penerbangan Garuda Indonesia tujuan New York dengan nomor penerbangan GA717, harap segera melakukan boarding karena keberangkatan dijadwalkan pada pukul 15.40. Sekali lagi, panggilan bagi..."

Aku memeriksa jam tanganku. Sudah jam tiga. Kemana sih anak itu?

Ku panjangkan leher untuk melihat jauh ke ujung jalan di depan terminal keberangkatan penerbangan internasional bandara Soekarno-Hatta, sambil berharap-harap cemas semoga perempuan itu muncul dengan mobil merahnya yang konyol.

"Pak, nggak mau nunggu di dalam aja?" tanya Fandi lagi untuk kesekian kalinya.

"Nggak, di sini aja." jawabku, sama seperti yang selalu aku berikan selama dua jam terakhir.

Biasanya, aku memang selalu menunggu di VIP lounge. Mungkin dia heran kenapa sekarang aku memilih untuk menunggu di pelataran terminal. Apa lagi alasannya kalau bukan karena menunggu perempuan itu?

Aku mengambil ponsel di kantong dalam jaket kulit yang kukenakan, kemudian menelpon Raya yang kutaruh di tombol speed-dial nomor satu. Begitu terdengar nada sambung, aku langsung mendekatkan ponsel ke telinga. Tidak lama kemudian...

"Anda terhubung dengan layanan kotak suara, silahkan tinggalkan pesan setelah nada berikut..." Tut.

Aku langsung menjauhkan ponselku dan menatapnya dengan tidak habis pikir. Kenapa Raya malah mematikan ponselnya di saat seperti ini?! Aku pun membatalkan panggilan itu dan memasukan ponsel ke dalam saku jaket lagi.

Pandanganku pun berlarian ke sana-ke mari. Siapa tahu gadis itu muncul di belakang.

Setelah melakukannya selama beberapa saat tapi tanda-tanda kehadiran Raya masih tidak ada juga, aku pun memutuskan untuk duduk di space kecil di ujung troli yang mengangkut barang-barangku.

Tenggorokanku terasa kering sekali. Kalau dipikir-pikir, lama juga aku berdiri. Aku bahkan tidak beranjak untuk makan ataupun minum karena takut kalau nanti tiba-tiba Raya datang, aku tidak ada.

"Pak, tadi saya beli ini. Mungkin sekarang udah dingin." ujar Fandi, membuat aku langsung menatapnya.

Dia mengambilkan sebuah kantong kertas di keranjang troli dan menyodorkannya padaku. Aku pun membuka kantong itu. Di dalamnya ada segelas coca-cola, kentang, dan burger. Kapan dia membeli ini? Aku bahkan tidak sadar.

"Makasih, ya." kataku sambil tersenyum tipis. Dia pun mengangguk.

Aku mengambil gelas di kantong itu dan membuka tutupnya. Kemudian menegak coca-cola itu sampai habis. Sayangnya, aku tidak punya nafsu untuk menyentuh burger dan kentang.

Lalu mataku pun kembali terarah ke ujung jalan. Kesal dan khawatir bercampur jadi satu. Bagaimana kalau dia benar-benar tidak datang?

Tiba-tiba saja aku teringat sebuah benda yang ada di saku celanaku.

Aku memindahkan kantong kertas ke tangan kiri sementara tangan kananku menjangkau saku celana. Kukeluarkan sebuah kotak beludru berwarna hitam dan membukanya. Sebuah cincin platina dengan hiasan permata yang simpel tapi elegan bertengger dengan manisnya di sana.

Sebenarnya aku sudah mau memberikan ini sejak sebulan yang lalu, tapi tahu-tahu dia malah menghilang. Kemudian dua hari yang lalu kesempatan itu datang lagi, tapi malah aku sia-siakan begitu saja. Jadi, ini adalah kesempatan terakhirku.

Aku cuma mau 'mengikat' dia sebelum aku pergi. Jadi begitu aku kembali, dia tidak akan diambil orang dan kami bisa langsung meresmikannya. Atau kalau dia mau, aku bisa melakukannya secepatnya, jadi aku bebas membawa dia kemanapun aku pergi. Namun, ternyata kenyataannya tidak berjalan semulus itu.

Aku melirik jam tangan. Dua puluh menit sebelum jadwal keberangkatan dan aku bahkan belum check in. Aku menghela nafas dengan pasrah. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali merasakan takut seperti yang aku rasakan ketika mendengar berita kepergian Papa.

Kedua mataku tidak lepas dari ujung jalan. Sampai akhirnya Fandi menyentuh pundakku.

"Pak, itu panggilan terakhir." ujarnya yang membuat aku jadi ikut memusatkan perhatian pada pengumuman di pengeras suara.

Aku melirik jam tangan lagi. Lima belas menit sebelum waktu keberangkatan. Aku tertawa sendiri. Kesal, sedih, patah hati. Dia tidak datang, kataku dalam hati.

Bagian dalam tubuhku pun serasa luruh. Tiba-tiba saja aku lemas. Kemudian hanya berjarak sepersekian detik setelah itu, aku merasakan kemarahan yang luar biasa sampai-sampai sekujur tubuhku terasa panas. Untung aku masih sadar kalau aku sedang berada di area publik. Lantas ku genggam kotak beludru di tanganku erat-erat dan aku hela nafas dalam-dalam. Kemudian aku bangkit berdiri dan ku dekati Fandi, lalu ku jejalkan kotak di tanganku itu ke tangannya.

"Jual!" ujarku sambil berlalu menuju troli dan langsung membawa troli itu ke arah pintu masuk.

Beraninya dia tidak datang!

Aku menawarkan hatiku dan sebuah komitmen, tapi dia membalas dengan cara seperti ini? Cih! Dia pikir dia siapa? Aku tidak butuh dia, dia yang butuh aku. Aku menginginkan dia dan kalau dia tidak menghargai itu, artinya aku harus melupakannya. Satu hal yang pasti, aku akan melupakan dia dengan mudah.

>>>

Elmo & Prince CharmingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang