16. Rebound {END}

2.6K 171 10
                                    

William

Aku menjejalkan puntung rokok di atas asbak hingga bara di ujungnya mati. Baru saja mau meraih satu batang lagi, ternyata kotak rokokku sudah kosong. Sial!

Aku mengangkat kepala hingga pandanganku mengarah lurus ke danau. Ini baru satu hari, tapi rasanya sudah lama sekali. Mataku pun beralih ke meja kopi. Cangkir kosong berisi ampas kopi yang bolak-balik diisi ulang, tiga kotak rokok yang sudah kosong, dan berbatang-batang puntung rokok yang terparkir di asbak ada di sana. Entah sampai berapa lama aku akan merusak diriku seperti ini. Padahal aku sengaja tetap tinggal di Lembang supaya tidak kecanduan alkohol lagi, tapi tetap saja aku perlu pelampiasan.

Aku tidak tahan cuma diam begini. Aku perlu rokok lagi. Lantas, aku bangkit berdiri dan berjalan ke arah rumah.

Dari teras belakang, terlihat Ina dan Felix duduk di sofa di depan TV. Keduanya terlihat geli akan sesuatu dan sepertinya mereka terlibat dalam obrolan yang seru. Sayangnya, aku terlalu malas untuk itu sekarang.

Tadinya aku mau langsung keluar, tapi begitu ingat kalau Felix pasti bawa motor aku pun menghampiri mereka.

Menyadari aku berjalan ke arahnya, mata Felix pun langsung tertuju padaku. Tidak lama kemudian, Ina yang tadinya membelakangi aku pun berbalik mengikuti arah pandangannya.

"Lix, pinjem motor." kataku langsung.

"Mau ke mana?" tanyanya kemudian.

"Minimarket." jawabku.

"Ngapain?" tanyanya, heran.

"Beli rokok." jawabku lagi.

"Tumben," cibir Felix yang langsung kubalas dengan tatapan malas.

Biasanya aku memang lebih suka menyuruh orang dari pada jalan sendiri, tapi sekarang aku perlu jalan-jalan.

"Udah, cepet! Mana kunci?" balasku dengan tidak sabar.

Felix hanya mengarahkan dagunya ke meja kopi, tempat kunci motornya berada.

Aku pun menyambar kunci itu dan sesegera mungkin pergi meninggalkan mereka. Saat aku melangkahkan kaki keluar dari ruang keluarga, aku seperti mendengar suara-suara pelan. Mereka berdua pasti langsung membicarakan aku.

>>>

Suara mesin menderu semakin keras seiring dalamnya gas yang kutancapkan. Angin pun menghantam tubuhku yang hanya dibalut kaos hitam lengan panjang dan wajahku yang tidak dilindungi helm dengan keras.

Sejak umur dua puluh tahun, aku adalah pengendara yang baik dan selalu berhati-hati, tapi sekarang aku mengendarai motor seperti anak ABG. Agak bodoh memang, dalam usia setua ini aku masih merasa kebut-kebutan adalah pelampiasan stres yang sangat ampuh. Padahal aku tahu persis bagaimana Felix akan murka kalau motor sport barunya ini lecet sedikit saja.

Jalan naik-turun dan berliku tidak menghalangi aku untuk memacu motor hingga mencapai kecepatan seratus dua puluh kilometer per jam. Setiap mobil, motor, truk, kulewati. Aku tidak takut menyalip meskipun kendaraan lain datang dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan dan kanan-kiriku itu jurang dan selokan.

Aku sedang berusaha mendului sebuah truk pembawa kayu gelondongan saat tiba-tiba saja, sebuah mobil dari arah berlawanan membunyikan klakson. Kontan, aku banting setir.

Selanjutnya yang aku tahu, bunyi berdebam yang sangat keras terdengar sementara tubuhku terlempar hingga akhirnya mendarat di atas permukaan berkerikil. Debu mengebul pada saat yang sama. Tubuhku pun terguling sampai akhirnya berhenti saat kepalaku membentur sesuatu yang keras dan membuatku luar biasa pusing.

Elmo & Prince CharmingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang